Jakarta - Benar apa yang dinyatakan DPP Front Pembela Islam (FPI) dalam pernyataan sikapnya yang disampaikan saat aksi menolak pencabutan Perda Anti Miras di depan Kantor Kemendagri, Jakarta, Kamis (12/1/2012) lalu. FPI mensinyalir bahwa kelompok-kelompok Liberal berada di balik upaya pencabutan Perda Anti Miras di sejumlah daerah. Dan kali ini, diduga kelompok liberal yang berada di balik pencabutan perda anti miras itu adalah orang-orang yang 'menghuni' kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Seperti diberitakan harian online Republika, Ahad (15/1/2012), alasan Kemendagri mengevaluasi perda tentang pelarangan minuman keras adalah karena didesak oleh Komnas HAM. Oleh Komnas HAM, Perda Kota Tangerang Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol dianggap melanggar HAM.
Hal ini terungkap dari surat Walikota Tangerang Wahidin Halim yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, yang menyatakan Perda Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol tidaklah bertentangan dengan HAM.
Republika mengaku mendapatkan salinan dokumen surat bernomor 188.24/1196 – Hukum/2011 perihal klarifikasi Perda Nomor 7 Tahun 2005 tertanggal 18 Mei 2011 yang menjelaskan bahwa Perda Kota Tangerang Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pelarangan Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol tidak bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
Saat hal ini dikonfirmasi ke Komnas HAM, salah satu komisioner Komnas HAM Johny Nelson Simanjutak menegaskan pihaknya tak pernah secara eksplisit menyebutkan agar Perda Larangan Miras yang ditinjau ulang. Nelson mengakui hanya mengkritisi perda-perda syariah dan meminta Kemendagri untuk meninjau kembali perda-perda tersebut. “Karena dapat menimbulkan konflik horizontal,” kata Johny, Ahad (15/1/2012).
Fakta ini makin membenarkan sinyalemen FPI. Dalam pernyataan yang ditanda tangani Habib Muhammad Rizieq Syihab dan KH Ahmad Shobri Lubis, Kamis (12/1/2012) FPI menyatakan, "Sejak lama, gerakan Islam di Indonesia memperjuangkan penerapan Syariat Islam secara KONSTITUSIONAL agar menjadi Hukum Nasional di Indonesia. Sebaliknya, kaum Liberal Indonesia dengan berbagai macam cara selalu mengupayakan pembatalan Perda-Perda Syariat di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Perda Anti Miras, dengan dalih mengebiri kebebasan dan melanggar HAM serta tidak sesuai dengan alam kebhinnekaan. Bahkan sudah berulang kali mereka mengajukan Yudicial Review sejumlah Undang-Undang yang dinilai bernuansa "Syariat" ke Mahkamah Konstitusi RI, antara lain : UU Penodaan Agama, UU Perjudian dan UU Pornografi, tapi mereka selalu gagal", seperti dikutip dalam surat pernyataan.
Menanggapi hal itu, Ketum Front Pembela Islam (FPI], Habib Rizieq Syihab mengatakan, bahwa salah satu agenda besar kaum liberal adalah pembatalan UU dan Perda bernuansa Syariah. Bukan itu saja, kaum liberal dituding telah memperalat Pemerintah agar menggunakan otot kekuasaanya, misal, mendorong Kemendagri agar mengevaluasi Perda Anti Miras yang tujuan akhirnya adalah pembatalan Perda tersebut.
"Komnas HAM merupakan salah satu komponen LIBERAL yang AGENDA BESARNYA di Indonesia adalah Pembatalan UU dan Perda yang bernuansa Syariah. Sudah berulang-kali Geng Liberal mengkompori DPR hingga mengajukan YUDICIAL REVIEW ke MK untuk pembatalan UU Penodaan Agama, UU Perjudian dan UU Pornografi, tapi gagal. Termasuk YUDICIAL REVIEW Perda Anti Miras Indramayu ke MA, tapi gagal juga”, kata Habib Rizieq, Senin, (16/01/2012)
“Nah, kini mereka mau pakai JURUS MABUK dengan memperalat Pemerintah agar menggunakan OTOT KEKUASAAN, diantaranya mendorong Kemendagri agar mengevaluasi Perda Anti Miras yang tujuan akhirnya adalah pembatalan Perda tersebut. Seruan saya, umat Islam harus bersatu merapatkan barisan dan menghimpun kekuatan untuk terus menerus mengganyang Liberal, ini perang abadi yang tidak akan berhenti sampai dengan Qiyamat. Allahu Akbar !" tegas Habib.
Hal seirama juga dikatakan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. A. Cholil Ridwan mengatakan bahwa kritikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terhadap sejumlah Peraturan Daerah (Perda) yang dianggap bernuansa syariah adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi mayoritas bangsa Indonesia untuk beribadah secara kaafah dan tenang. Seperti diketahui, salah satu perda bernuansa syariah yang mendapat kritikan Komnas HAM adalah Perda Anti Miras.
"Justru kritikan Komnas HAM yang sebenarnya mempunyai muatan sebagai 'desakan' agar Mendagri mencabut Perda Anti Miras lah yang melanggar hak asasi mayoritas bangsa Indonesia untuk beribadah dengan kaafah dan tenang", kata Kiyai Cholil Ridwan, seoerti dikutip suara-islam.com, Senin (16/1/2012).
Bahkan, kata Pengasuh Pesantren Husnayain Jakarta itu, dengan mendesak Kemendagri mencabut Perda Anti Miras berarti Komnas HAM telah berpihak pada para pemabuk. Desakan itu, lanjut Kiyai Cholil, justru yang akan menimbulkan konflik horizontal. "Desakan Komnas HAM yang sangat berpihak kepada para pemabuk yang rusak dan merusak yang akan menimbulkan konflik horizontal", lanjutnya.
Jika dikaji, isi Kepres itu memang tidak ada ketegasan melarang minuman keras. Isinya hanya sekedar tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol. Misalnya dalam Bab III tentang Produksi, Peredaran Dan Penjualan Pasal 3 disebutkan bahwa “Produksi minuman beralkohol di dalam negeri hanya dapat diselenggarakan berdasarkan izin Menteri Perindustrian dan Perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri.”
Maka dari itu, jika pengusaha miras sudah mendapatkan izin dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan, maka mereka bisa secara legal memproduksi dan menjual minuman keras itu.
Dalam pasal 4, ada yang berisi pelarangan mengedarkan dan menjual miras, namun sayangnya terlalu banyak kelonggaran. Miras boleh dijual di  hotel, bar, restoran dan di tempat tertentu lainnya. Pasal 4 itu berbunyi, “Dilarang mengedarkan dan atau menjual minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) di tempat umum, kecuali di hotel, bar, restoran dan di tempat tertentu lainnya yang ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I setelah mendengar pertimbangan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.” Pasal ini jelas bisa menjadi landasan hukum bagi pengusaha miras.
Jadi, sebaiknya, umat Islam tidak hanya menggugat Mendagri soal pencabutan Perda itu, namun juga harus menggugat Kepres itu. Karena Kepres itu bisa menjadi dalih hukum dilegalkannya minuman keras. Na’udzubillah.
Jika para mafia minuman keras berani melayangkan gugatan kepada MA terhadap Perda Miras, maka umat Islam hendaknya bersatu untuk menggugat Kepres Miras yang masih membuka pintu lebar bagi bisnis haram itu. Padahal dalam Islam, minuman keras atau khamar sangat jelas diharamkan.
Sebelumnya diberitakan, alasan Kemendagri mengevaluasi perda tentang pelarangan minuman keras adalah karena didesak oleh Komnas HAM. Oleh Komnas HAM, Perda Kota Tangerang Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol dianggap melanggar HAM. Hal ini terungkap dari surat Walikota Tangerang Wahidin Halim yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, yang menyatakan Perda Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol tidaklah bertentangan dengan HAM. [Slm/FPI]


Sumber : KabarNet