Gender
berasal dari bahasa Inggris yang berarti "jenis kelamin", kemudian
menjadi sebuah istilah yang bermakna pembedaan peran dan tanggung-jawab
antara laki-laki dan perempuan. Namun belakangan, Gender tidak lagi
dibatasi pada persoalan sex (jenis kelamin) terkait maskulin dan feminin
dalam tataran heterosexual, tapi juga mencakup jenis Gender ketiga yang
bersifat cair dan berubah-ubah, serta senang memakai pakaian Gender
lain dalam tataran homosexual atau lesbianisme.
Istilah
"Bias Gender" biasa digunakan untuk menunjukkan suatu kondisi pembedaan
yang merugikan kaum wanita dan menguntungkan kaum pria sebagai akibat
dari perbedaan jenis kelamin. Sedang istilah "Kesetaraan Gender" biasa
digunakan untuk menunjukkan suatu kondisi yang posisi peran dan
tanggung-jawab wanita dan pria setara tidak berbeda dalam semua hal.
Kini,
dalam konteks Wawasan Kebangsaan, penulis mencoba menawarkan istilah
"Keserasian Gender" untuk menunjukkan suatu kondisi keharmonisan dalam
perbedaan peran dan tanggung-jawab antara laki-laki dan perempuan. Ini
penting, karena Islam sebagai agama mayoritas bangsa Indonesia memiliki
aturan yang komprehensif tentang pembagian peran dan tanggung-jawab
antara pria dan wanita sesuai dengan aspek biologis dan psikologisnya
masing-masing secara adil. Dengan "Keserasian Gender" akan terwujud
keharmonisan hubungan antara jenis pria dan wanita dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk menuju Indonesia yang adil
dan makmur. Insya Allah !
ISLAM DAN GENDER
Di
masa jahiliyyah, hampir seluruh bagian dunia menempatkan wanita sebagai
jenis hina, makhluk rendah, manusia kelas dua, pelengkap kehidupan,
barang hiburan, pemuas hawa nafsu, sumber dari segala dosa dan budak
rumah tangga. Wanita menjadi korban ketidak-adilan dan mangsa
penindasaan selama berabad-abad.
Di
Jazirah Arab, mengubur hidup-hidup anak perempuan menjadi tradisi yang
dibanggakan. Lalu Rasulullah Muhammad SAW datang menyinari dunia dengan
Risalah Islam yang membela wanita dari ketidak-adilan dan
menyelamatkannya dari penindasan, bahkan mengangkat derajatnya ke
tingkat yang sangat terhormat dan memberi perlindungan tingkat tinggi,
serta memperlakukannya dengan seadil-adilnya.
Islam
tidak melarang kaum wanita untuk berkarir dan berprestasi dalam bidang
pendidikan, ekonomi, politik, sosial, budaya dan tekhnologi, selama
terpenuhi rukun dan syaratnya, serta tidak dilanggar batasan syariatnya.
Bahkan dalam Islam, wanita diwajibkan untuk menuntut ilmu sebagaimana
diwajibkannya kaum pria. Dalam ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah
SAW, wanita dan pria punya kewajiban yang sama, serta mendapat janji dan
ancaman yang sama pula. Ada pun dalam pembedaan peran dan
tanggung-jawab antara laki-laki dan perempuan dalam harmoni kehidupan,
maka Islam menetapkan aturan yang sangat adil sesuai aspek
biologis dan psikologis masing-masing jenis kelamin, untuk mewujudkan
"Keserasian Gender" yang mencerminkan "Keadilan Gender" dalam makna yang
benar.
Dalam
Islam, wanita makhluk mulia dan terhormat yang memiliki harkat dan
martabat yang tinggi, bahkan memiliki sejumlah keistimewaan yang tidak
dimiliki kaum pria. Islam menjadikan penghormatan kepada ibu tiga kali
lebih utama dari pada penghormatan kepada ayah. Islam menempatkan surga
di telapak kaki ibu, bukan di telapak kaki ayah. Islam mewajibkan pria
yang membayar mahar perkawinan kepada wanita, tidak sebaliknya. Islam
mewajibkan pria untuk memberi perlindungan kepada wanita, bukan
sebaliknya. Islam mengutamakan pihak wanita dari pada pihak pria dalam
hak hadhonah (pemeliharaan anak) saat terjadi perceraian. Islam
membebankan pria dengan kewajiban berat yang tidak dibebankan kepada
wanita, seperti mencari nafkah, menegakkan shalat berjama'ah di masjid,
melaksanakan shalat Jum'at, memimpin negara dan jihad.
Bahkan
dalam sejumlah hal yang tidak sedikit, Islam lebih memperhatikan wanita
dari pada pria. Misalnya, dalam pembagian warisan, ana laki mendapat
bagian dua kali bagian anak perempuan dari warisan ayahnya yang
meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa si anak laki berkewajiban untuk
menanggung nafkah ibu dan saudari-saudarinya yang ditinggal sang ayah,
sedang si anak perempuan tidak diwajibkan yang demikian itu. Secara
matematis, bagian warisan anak laki dalam waktu tertentu akan habis
terpakai untuk pembiayaan keluarga, sedang bagian warisan anak perempuan
akan tetap tidak berkurang.
Misal
lainnya, dalam soal pemberian (hadiah / hibah), Islam menganjurkan
penyama-rataan bagian antara anak laki dan perempuan, bahkan jika harus
dibedakan maka dianjurkan bagian anak perempuan yang dilebihkan dari
pada bagian anak laki, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Ath-Thabrani rhm dan Imam Al-Baihaqi rhm tentang sabda Nabi Muhammad SAW
yang bunyi terjemahannya : "Samakanlah di antara anak-anakmu dalam
pemberian. Andaikata aku melebihkan bagian seseorang (dari anak-anakku),
niscaya aku lebihkan bagian anak perempuan." Disana masih banyak lagi
dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menunjukkan keistimewaan wanita
yang tidak dimiliki pria. Silakan menelusurinya bagi yang ingin tahu
lebih banyak.
Selain
itu, Islam memberi wanita "cuti rutin" dari shalat tanpa qodho dan
puasa dengan qodho saat haidh atau nifas. Tentu ini hal yang sangat
istimewa buat kaum wanita, sebagai rahmat dari Allah SWT untuk
memudahkan kehidupan mereka dan meringankan bebannya. Betapa Islam "memanjakan" kaum wanita dengan penuh cinta dan kasih sayang. Subhanallah !
BARAT DAN GENDER
Kaum
wanita di Barat mengalami nasib tragis berupa penindasan berkepenjangan
akibat jenis kelamin. Dari zaman Yunani kuno hingga zaman modern sekali
pun, wanita divonis sebagai manusia cacat, bahkan dianggap sebagai
makhluq setengah manusia, sehingga hanya menjadi objek perlakuan
sewenang-wenang dari kaum pria yang merasa sebagai manusia utuh dan
sempurna. Sementara agama yang mereka anut tidak memberikan solusi
sejati terhadap persoalan tersebut.
Akumulatif
kekecewaan dan sakit hati kaum wanita di Barat telah melahirkan Gerakan
Feminisme yang merupakan pemberontakan wanita Barat terhadap kezaliman
kaum prianya. Sekitar tahun 1970-an, Gerakan Feminisme di London
melahirkan tuntutan "Gender Equatity" (Kesetaraan Gender), yaitu
tuntutan penyetaraan serta penyamaan peran dan tanggung-jawab laki-laki
dan perempuan, mulai dari persoalan individu, keluarga hingga urusan
negara.
Hingga
kini pun, Barat tidak punya solusi bagus untuk mengatasi persoalan
"Bias Gender" yang terus berlangsung hingga saat ini. Sekali pun di
Barat telah terjadi Gerakan Feminisme secara besar-besaran dalam
tuntutan "Kesetaraan Gender", namun pada prakteknya tetap saja Barat
menempatkan wanita hanya sebagai "Budak Syahwat". Lihat saja, dengan
dalih modernitas, kecantikan wanita difestivalkan, dan keindahan
tubuhnya dipertontonkan, serta goyang erotisnya diperlombakan. Bahkan
tarian wanita telanjang (striptis) dijadikan objek wisata resmi, dan
pelacuran pun dijadikan profesi kerja legal bagi perempuan. Semua itu
fakta tak terpungkiri, bahwa kaum lelaki di Barat tetap dijadikan nomor
satu sebagai "pembeli" dan "pemakai", sedang kaum perempuan tetap
dijadikan nomor dua sebagai objek yang "dibeli" dan "dipakai".
Dengan
demikian, latar belakang persoalan Gender di tengah masyarakat Barat
dan penanganannya tidak sama dengan apa yang terjadi dalam sejarah
Islam. Islam tidak pernah punya persoalan dengan "Gender". Dalam Islam
tidak ada "Bias Gender", sehingga Islam tidak butuh "Kesetaraan Gender".
Islam telah mengajarkan dan mengamalkan konsep "Keserasian Gender" yang
sangat sempurna dan menakjubkan sejak hampir lima belas abad lalu,
melalui praktek kehidupan Rasulullah SAW dan Ahlul Bait serta Para
Shahabatnya yang mulia, rodhiyallahu 'anhum. Alhamdulillah !
INDONESIA DAN GENDER
Para
pegiat Kesetaraan Gender di Indonesia berasal dari kalangan Liberal,
karena Kesetaraan Gender sebagai salah satu jargon Feminisme memang
lahir dari rahim Liberal. Gerombolan Liberal sudah sejak lama melakukan
gerakan sistematis dan strategis untuk menggolkan proyek "Kesetaraan
Gender". Di tahun 1980, mereka berhasil menyusup dan mempengaruhi
Pemerintah Republik Indonesia untuk ikut menandatangani Konvensi
Kesetaraan Gender yang dicetuskan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di
Kopenhagen. Konvensi tersebut dikenal sebagai "Convention on The
Elimination of all forms of Discrimination Againts Women" yang disingkat
dengan CEDAW.
Lalu
di tahun 2000, mereka sukses mendorong Pemerintah RI untuk menerbitkan
Instruksi Presiden No.9 Th. 2000 tentang Pengarus Utamaan Gender dalam
Pembangunan. Dengan Inpres ini, Pemerintah RI ingin menunjukkan
keseriusan komitmennya terhadap kesepakatan CEDAW yang pernah
ditandai-tanganinya.
Dan
di sekitar tahun 2006, melalui salah seorang pegiat Kesetaraan Gender
yang aktiv di Pengarus Utamaan Gender - Departemen Agama RI, mereka
melemparkan Draft Counter Legal - Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang
berisi usulan perubahan pasal-pasal perkawinan dan warisan dalam KHI,
seperti larangan poligami, pemberian hak thalaq kepada wanita, penyamaan
bagian waris anak laki dan perempuan, pemberlakun masa 'iddah bagi
pria, dan sebagainya.
Selanjutnya
di tahun 2011, para pegiat Kesetaraan Gender di Komnas HAM dan Komnas
Perempuan serta LSM-LSM LIBERAL lainnya, telah berhasil mendorong
pembentukan Tim Kerja (Timja) yang mengatas-namakan Kaukus Perempuan di
DPR RI, untuk menyusun Draft Rancangan - Undang-Undang Kesetaraan dan
Keadilan Gender ( RUU - KKG ). Konon kabarnya, Timja tersebut telah
melakukan studi banding ke Eropa dengan biaya milyaran rupiah yang
berasal dari uang anggaran negara. Kini, rencananya DPR RI akan
membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk menggodok lebih lanjut RUU
tersebut. Prosesnya memang masih panjang, tapi langkah untuk melahirkan
UU KKG makin nyata, konkrit dan jelas.
Sebenarnya,
Indonesia tidak punya persoalan dengan Gender, karena mayoritas bangsa
Indonesia menganut ajaran Islam yang tidak "Bias Gender". Dan fakta
lapangan pun dengan terang benderang menunjukkan bahwa wanita Indonesia
memperoleh kebebasan berkarir dan berprestasi di segala bidang dengan
jaminan perundang-undangan yang senantiasa terikat dengan norma-norma
suci agama dan nilai-nilai luhur budaya. Lihat saja, wanita Indonesia
ada di segala bidang, mulai dari sebagai ibu rumah tangga, guru, petani,
nelayan, buruh pabrik, sarjana, cendikiawan, dokter, insinyur, ekonom,
saintis, politisi, pejabat, menteri, anggota dewan, pimpinan partai,
wartawan, kolumnis, presenter, motivator, pedagang eceran, pengusaha
berkelas, bankir, direktur, komisaris, polisi, tentara, pengacara,
jaksa, hakim, pramugari, pilot hingga supir sekali pun, dan lain
sebagainya.
Karenanya,
Indonesia tidak butuh UU KKG atau UU sejenisnya yang bertentangan
dengan Syariat Islam yang menjadi ruh sebenarnya dari pilar-pilar
kebangsaan Indonesia.
Penulis: Habib Muhammad Rizieq Syihab, MA
(Bersambung edisi depan... slm/fpi)
Sumber : Suara Islam