Mozaik Harokah FPI - Ketika kata ‘khilafah’ diungkapkan, maka yang terbayang bagi sebagian orang ialah sebuah konsep yang merusak tatanan negara, tidak demokratis, negatif. Ada pula yang menganggap positif karena merupakan pergerakan dalam memperjuangkan nilai-nilai agama. Tarik ulur semacam ini akan terus terjadi sepanjang pengertian khilafah tidak difahami secara utuh. Mungkinkah khilafah diterapkan pada masa dunia moderen saat ini? Berikut hasil wawancara Ahmad Rizqon dengan Habib Muhammad Hanif bin Abdurrahman Alathas Lc, di kediamannya beberapa waktu lalu.

Khilafah dalam pandangan habib ?

Sebelum membahas makna khilafah, kita perlu menggaris bawahi beberapa poin terlebih dahulu. Pertama, Kita sepakat bahwa nanti di akhir zaman akan berdiri khilafah di bawah pimpinan Imam Mahdi  dan umat Islam akan mengikutinya, saya rasa hanya Ustadz atau kyai abal-abal yang tidak mengakui ini, karena riwayat soal kedatangan Imam Mahdi sampai pada tingkatan mutawatir ma’nawi.

Kedua, kita tahu bahwa pembahasan khilafah ada dalam kitab-kitab klasik Ahlusunnah, bahkan ada yang membahas secara khusus dan detail, seperti Al-Ahkâm As-Sulthâniyah karya Imam Mawardi, Ghiyâtsul Umam/al-Ghiyatsi karya Imam Haramain dan sebagainya dengan berbagai penyebutan, ada yang menyebut dengan istilah khilafah, ada pula dengan istilah imarah, imaratul-mukminin dan imamah. Syekh Abdul Wahab Khallaf dan Syekh Muhammad Najib al-Muthi’I (pengarang takmilah al-Majmu’) menyebut semua istilah itu searti/mutarodifah.

Ketiga, yang perlu digaris bawahi adalah khilafah itu tidak harus HTI. HTI bukan representasi dari khilafah, karena kita Ahlusunah juga mengenal istilah itu dalam turats kita. Jadi, jangan mengidentikkan bahwa khilafah itu sudah pasti HTI. Itu penyempitan makna khilafah. HTI punya pandangan tersendiri terhadap makna khilafah. Kita pun demikian, bahkan lebih fleksibel di dalam menerjemahkan khilafah, bukan dengan menafikan eksistensi negara-negara saat ini. Tidak.

Keempat, banyak pihak khususnya pejabat yang menyebut-nyebut khilafah sebagai ideologi terlarang, menurut saya ini lucu, kenapa ? karena pembahasan khilafah itu menurut aswaja tidak masuk kategori ideologi, akan tetapi lebih tepatnya adalah kategori fiqih, sebagai mana Imam Ghozali pernah menjelaskan hal tersebut. Justru yang menjadikan khilafah (dengan istilah Imamah) sebagai bagian dari ideologi adalah Syiah, sehingga kalau para pejabat mau anggap khilafah sebagai “ideologi” terlarang, maka larangan itu semestinya tertuju pada Syiah.

Kemudian, baru kita masuk pada pembahasan. Apa sih yang dimaksud khilafah? Imam Mawardi dalam kitabnya, Al-Ahkâm As-Sulthâniyahmenyebutkan, khilafah itu مَوْضُوْعَةٌ لِخِلاَفَةِ النُّبُوَّةِ فِيْ حِرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا بِهِ, yaitu sebuah konsep yang tujuannya melanjutkan visi misi kenabian dalam hal حِرَاسَةِ الدِّيْنِ (menjaga agama) dan سِيَاسَةِ الدُّنْيَا بِهِ (mengatur urusan kehidupan dunia -dengan berbagai hiruk pikuk di dalamnya, seperti ekonomi, sosial dan sebagainya- dengan aturan agama), dengan ajaran yang dibawa oleh baginda Nabi saw.

Dari sini, menurut kami khilafah dalam konteks kekinian itu tidak kaku, tidak harus baku dengan menghapuskan negara-negara yang ada, tidak. Yang penting esensi dari tadi itu (حِرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا بِهِ) tercapai. Karenanya, dalam konteks kenegaraan, dalam konteks internal Indonesia kita berkewajiban mengakui dan merawat eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ijtihad para pendiri bangsa dengan dasar Pancasila dan UUD 1945 serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika, ini luar biasa.

Lalu bagaimana penerapannya di Indonesia ?

Alhamdulillah, di Indonesia dasar negara kita adalah Pancasila yang berjiwakan Piagam Jakarta sesuai dekrit Soekarno. Itu menjadi pintu untuk masuknya nilai-nilai agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Bagaimana cara memasukkannya? Ya harus melalui proses yang ada, selain dengan berdakwah mengenalkan syariat kepada akar rumput masyarakat melalui pesantren, madrasah, majlis taklim dll, juga formalnya harus melalui prosedur dan ketentuan yang ada, seperti mendorong para politikus Muslim yang mempunyai iktikad baik untuk menerapkan nilai-nilai Islam, memperjuangkan syariat Islam di parlemen supaya masuk dalam sendi-sendi bernegara dan berbangsa. Sebetulnya itu sudah berjalan dengan baik, karena hukum yang berkaitan dengan Ibadat, muamalat dan munakahat atau ahwal syakhshiyyah sudah mendapatkan porsinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, begitupula Jinayaat di sebagian daerah, semuanya tinggal ditingkatkan juga disempurnakan.

Jadi tetap, NKRI berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Bukan malah dengan menghapus aturan-aturan negara yang sudah ada.

Sebagai catatan, Pancasila adalah bukti kejeniusan para pendiri bangsa, khususnya para kiai. Awalnya sila Ketuhanan itu kan ada di nomor lima, kemudian diperjuangkan oleh para ulama menjadi sila pertama. Artinya, dasar negara kita ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Karena itu, di negeri kita tidak boleh ada undang-undang atau peraturan apapun yang bertentangan dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa karena sudah menjadi dasar negara kita, dijunjung tinggi. Ini salah satu bentuk ikhtiyar di dalam حِرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا بِهِ, pintu besar untuk menghidupkan syariat dalam sendi sendi bernegara. Itu dalam konteks internal Indonesia.

Menerapkan khilafah di zaman modern dan dunia internasional ?

Dalam konteks dunia internasional, kami (FPI) pernah mengeluarkan rekomendasi terkait upaya mewujudkan khilafah di zaman sekarang. Tentunya, harus menawarkan konsep yang realistis, jangan sampai bertabrakan dengan realita. Sehingga, bila terlalu bertabrakan dengan realita yang ada maka akan menjadi sebuah utopia, mimpi di siang bolong.

Mewujudkan khilafah di zaman sekarang dalam konteks hubungan negara-negara internasional itu dengan memperkuat hubungan antar negara-negara berpenduduk mayoritas  Muslim. Contoh, di zaman sekarang ada organisasi yang disebut OKI. Nah, OKI itu perannya bisa dimaksimalkan. Secara umum negara-negara di dunia mempunyai wadah berupa PBB, kenapa negara-negara Islam tidak mempunyai wadah sekelas PBB? Kalau peran OKI sangat maksimal, maka bisa memperkuat ukhuwah Islamiyah, mendorong satu sama lain antar negara Islam.

Karenanya, dalam salah satu munas kami merumuskan langkah-langkah yang strategis, seperti fungsi dan peran OKI diperkuat, pembentukan parlemen bersama dunia Islam, pembentukan pasar dan pakta pertahanan bersama, penyatuan mata uang dunia Islam, itu sudah dilakukan oleh Uni Eropa kenapa negara-negara berpenduduk mayoritas muslim tidak bisa lakukan itu ? begitupula penghapusan paspor atau visa antar dunia Islam, kemudahan asimilasi pernikahan antar dunia Islam, pembuatan satelit komunikasi bersama dunia Islam dan pendirian mahkamah Islam internasional. Ini rekomendasi yang tidak main-main. Penegakan khilafah ini lebih pada langkah-langkah kongkrit yang realistis untuk memperkuat hubungan antar negara Islam. Kalau meminjam istilah salah seorang ulama besar di timur tengah, khilafah Islamiyyah dijaman sekarang bentuknya bukan  lagi seperti dulu, tapi lebih mirip ke “Khilafah federaliyyah” atau yang sejenisnya. Karenanya, Prof. DR.  Abdurrozzaq as-Sanhuri dalam disertasinya dengan judul “ fiqhul Khilafah wa tathowwuruha”  yang beliau tulis di masa kekosongan khilafah pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah, beliau mengatakan :

(إن الخلافة ليست نظام حكم جامد من حيث شكله بل هي نظام مرن يمكن أن يتطر شكله ليتلائم مع الظروف الاجتماعية )

Mengapa FPI tetap menggunakan istilah khilafah padahal cukup sensitif ?

Sekarang kita dibikin takut untuk menyebut istilah khilafah, ini sebetulnya bagian dari harbul-musthalahat, perang terminologi. Orang dibikin takut dengan istilah tersebut. Padahal, kalau difahami dengan benar tidak seram seperti yang dibayangkan, dan istilah khilafah ada dalam turats kita. Bila dalam kitab-kitab turats istilah khilafah dsb itu tidak boleh dibahas sama sekali, maka sekalian saja larang kitab-kitab yang ada dipesantren untuk diajarkan.

Kenapa kita teguh memakai istilah khilafah, karena kita tidak mau istilah ini dijadikan kambing hitam sebab ada satu dua pemahaman yang keliru. Kalau pembusukan Istilah khilafah ini dibiarkan, maka kelak anak cucu kita akan mengenal istilah khilafah sebagai sebuah kejahatan. Itu yang tidak kita inginkan. Makanya, istilah ini tetap kita pertahankan tentunya dengan pemahaman yang baik, pemahaman yang sesuai dengan spirit aswaja dan nafas perkembangan dunia modern.

Sebenarnya saya bertanya-tanya, kenapa isu khilafah dibikin sedemikian besar hingga seperti sebuah bahaya, sangat diperhatikan. Sebesar apa sih ancaman khilafah yang difahami? Lebih riil mana dengan ancaman narkoba, korupsi, seks bebas, LGBT, kemerosotan moral? Tapi pembahasan yang digaungkan tidak sebesar khilafah. Saya melihat mencuatnya isu khilafah dengan konotasi yang negatif ini sebenarnya lebih pada hantu yang dibuat-buat.

Oleh karena itu, umat Islam khususnya pesantren jangan sampai termakan dengan perang opini. Konsistenlah pada aswajanya. Mari kita konsisten dengan turats kita. Kalau kita pahami dengan baik dan seksama, insyaaAllah umat Islam tidak akan gampang tertipu dengan hantu-hantu seperti itu. Fokus saja pada isu-isu yang substansial, seperti masalah kehancuran moral, seks bebas, narkoba, korupsi, kemiskinan, pengangguran. Saya rasa ini yang lebih penting ditangani. Ini lebih riil. Makanya, umat Islam tidak perlu risau.

Pesan habib

Saya berpesan, khususnya kepada pemerintah Indonesia, cobalah duduk dengan ormas-ormas yang ada, ajak mereka dialog, jangan hanya duduk dengan ormas yang dianggap sejalan atau mendukung secara politik, tapi yang berseberangan juga diajak berdialog, tabayun. Kita tidak bisa menghukumi sesuatu kalau kita tidak memahaminya dengan baik. Jangan mengeneralisir makna khilafah. Jangan menafsiri khilafah dengan seenaknya. Tanya, minta kejelasan bagaimana khilafah dalam pandangan Ahlusunah dan berbagai ormas yang ada. Jangan cuma disuarakan dengan lantang tapi tidak ada tabayun. Kalau ada tabayun dan ada iktikad baik, maka masalah ini bisa selesai. Tapi kalau tidak ada iktikad baik sampai kapanpun tidak akan pernah bisa selesai karena di situ lebih pada unsur politis.