Kalau kita berhujjah dari QS. Al ‘Imran ayat 118, maksud firman Allah Ta’ala: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa
yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa
yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh
telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”
Dalam
syariat Islam, tentu saja langkah Jokowi ini sangat bertentangan. Sebab
Allah Ta’ala memerintahkan agar umat Islam tidak menjadikan orang-orang
kafir sebagai teman kepercayaan atau pemimpin. Atas dasar itulah banyak
dikalangan ulama maupun da’i yang tergerak untuk menolak pemimpin dari
kalangan non muslim. Namun ketika hal itu disampaikan dalam dakwah
mereka justru dianggap sebagai SARA.
Hal
tersebut seperti diungkapkan Sekjen Front Pembela Islam (FPI), KH.
Ahmad Shabri Lubis, Lc. Beliau menegaskan bahwa apa yang disampaikan
para da’i agar menolak pemimpin di luar Islam adalah sikap yang benar. “Masalah
kepemimpinan ini kalau dari tinjauan syariat Islam tentu kyai-kyai itu
benar. Jangankan tingkat gunernur atau tingkat presiden, tingkat RT saja
tidak boleh kok orang Islam mengangkat orang kafir jadi pemimpin,” tuturnya, seperti dirilis voa-islam.com, Selasa (7/8/2012).
“Ini
ayat Al Alqur’an yang berbicara, kita sebagai umat yang taat kepada
Allah, hal ini harus jauh lebih didahulukan. Cuma ini masalahnya di
sistem demokrasi yang dianut di Republik Indonesia memang mengarahkan
semua orang punya hak yang sama, ini yang bikin rancu masalahnya,”
sambungnya.
Namun
demikian ia mengimbau agar para da’i bisa menggunakan strategi dakwah
yang baik, hal ini untuk menghindari musuh-musuh Islam yang menyerang
dengan tuduhan SARA. “Nah, sekarang tinggal kita menggodoknya dengan
lebih baik. Jangan nanti malah dijadikan alat oleh musuh untuk memukul,”
imbuhnya.
Kita
juga harus melihat dengan cermat bahwa di Jakarta penduduknya mayoritas
muslim. Mengapa harus ngotot dipimpin oleh non muslim dengan alasan
demokrasi? Di Amerika saja sebagai penggagas dan selalu meneriakkan
demokrasi, tidak akan mungkin membiarkan Gubernur California berasal
dari kalangan muslim, karena memang tidak pada tempatnya. Kearifan lokal
inilah yang harus dipahami, jangan sibuk teriak demokrasi.
Sementara
itu, Hari Ahad, 5 Agustus 2012 kemarin, sejumlah ulama pun berkumpul di
Cipayung, Bogor. Diantaranya yang hadir dalam pertemuan itu adalah
Sekjen Forum Umat Islam (FUI), KH Muhammad Al Khaththath, ia
mengingatkan, agar Jakarta tidak mengalami nasib seperti Singapura dan
Manila, serta Indonesia tidak menjadi Andalusia kedua. Hendaknya umat
Islam segera melakukan gerakan pencegahan. Caranya umat Islam harus
melakukan konsolidasi dan silaturahmi antar berbagai komponen umat
Islam. “Konsolidasi pemikiran, perasaan, dan gerak untuk memberikan
loyalitas hanya kepada Allah dan Rasul-Nya penting dimassifkan,”
katanya.
Al
Khaththath menceritakan, asal tahu saja, Manila sebelumnya adalah kota
Islam, didirikan Sultan Sulaiman. Manilla berasal dari kata fii
amaanillah yang artinya doa semoga di dalam jaminan keamanan Allah SWT.
Namun setelah kaum Nasrani Spanyol menyerang dan membersihkan kaum
muslimin dari Manilla dan kota-kota di Filipina bagian utara, maka kota
Manilla menjadi satu-satunya kota Katolik di Asia. Andalusia juga ibu
kota Daulah Islam selama hampir 8 abad, tetapi ketika kekuasaannya
direbut kaum Nasrani, umat Islam lantas dibantai habis dan diusir dari
sana.
Apakah
Jakarta akan mengikuti jejak Manilla dan Indonesia mengikuti jejak
Andalusia?. Wallahu A’lam. Tentunya tergantung kesadaran umat Islam di
Jakarta khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Cegahlah semaksimal
mungkin sebelum nasi menjadi bubur.
Nasib Betawi dan Muslim Jakarta
Sosok pemimpin Jakarta haruslah seseorang
yang paham betul tentang situasi penduduk warga Betawi yang mayoritas
muslim. Kegiatan agama islam sangat kental dalam kehidupan masyarakat
betawi karena sudah menjadi bagian dari tradisi mereka bertahun-tahun
lamanya dan itu tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial betawi.
Sehingga sosok sekuler liberalis–yang belum apa-apa sudah merendahkan
agama–sangat tidak pantas dijadikan pemimpin Jakarta, misalnya seperti
cawagub Jakarta, Ahok.
Calon
pemimpin Jakarta harus bisa merangkul tokoh masyarakat Betawi yang
mewakili daerahnya, bisa merangkul tokoh ulama yang bisa mewakili suara
masyarakat Jakarta. Karakteristik seperti itu tidak tampak pada sosok
seorang Ahok yang belum terpilih saja sudah berkicau tentang kelemahan
ayat kitab suci ketimbang ayat konstitusi. Bila calon pemimpin Jakarta
tidak punya sensitivitas tentang lingkungan yang akan dipimpinnya,
bagaimana ia berharap roda pemerintahannya bisa berjalan baik? oleh
karenanya, warga muslim Jakarta tidak boleh terbuai dan menutup mata
dengan fakta-fakta ini.
Bukan
hanya itu, terkait warga betawi yang notabene adalah mayoritas Muslim,
posisinya akan makin tersingkir dari daerah asli mereka. Lama
kelamaan nasib warga Betawi bisa menjadi seperti suku Aborigin di
Australia dan suku Indian di Amerika, yang menjadi warga kelas dua di
wilayah asli mereka sendiri dan kehilangan hak-hak sosial kehidupannya.
Suara dari masyarakat Betawi bisa tak terdengar lagi sebagai warga
penduduk asli Jakarta. Dalam beberapa tahun terakhir sangat jelas
terlihat bahwa Jakarta justru dikuasai oleh warga pendatang. Gejala ini
jangan semakin diperparah lagi dengan memilih figur calon pemimpin yang
amat jauh karakteristiknya dengan yang dimiliki masyarakat Betawi yang
religius dan sangat peduli akan urusan agama. Ciri khas masyarakat
Betawi yang agamis jangan sampai terkikis oleh kemoderenan metropolitan.
Masyarakat
muslim khususnya di wilayah Jakarta harus lebih bijak dalam menentukan
calon pemimpin mereka. Bila salah memilih, pemimpin kita nanti bukan
menjadi pendukung malah menjadi batu penggilas bagi seluruh kegiatan
umat Islam di Jakarta karena dianggap menghambat proses modernisasi
Jakarta. Sudah sewajarnya calon pemimpin Jakarta lebih arif
memperhatikan hal-hal yang sensitif dan akan mengundang huru-hara di
Jakarta. Jangan sampai ketidak perdulian akan aspirasi masyarakat muslim
Jakarta dan warga betawi khususnya, kelak akan
menimbulkan gesekan-gesekan kecil yang membuat masyarakat Betawi harus
mengasah golok untuk mempertahankan haknya. [slm/fpi]
Sumber :www.fpi.or.id