Mozaik Harokah FPI, Jakarta - Habib Rizieq Shihab (HRS), pasca 212 semakin populer. Kini ia terorbit dalam pusaran dunia kekuasaan. Ia menjadi counter elite , kekuatan elite politik tandingan. Selain itu, ia bisa juga menjadi seorang tokoh pemimpin altenatif. Pendek kata, ia bisa menjelma anti tesis, terhadap kondisi politik objektif yang sedang meradang.

Kehadiran elite politik baru setiap kurun waktu, harus dibaca sebagai anti tesis pada masanya.  Munculnya Amien Rais menjelang kejatuhan Orde Baru, Megawati, SBY, Jokowi.  Mereka adalah anti tesis terhadap kepemimpinan sebelumnya. Kekuatan atau aspirasi perubahan itu terkadang bersifat laten. Ia bekerja dan hadir dalam momentum politik. Sekurangnya, dalam momentum siklus 5 tahunan pemilu.

Fenomena HRS dalam kancah dinamika politik menjelang 2019 tentu tidak hanya dilihat dari sisi fenomena  formal kekuasaan, pertarungan jabatan formal presiden. Apalagi,  ia tidak bisa masuk dalam kontestasi, jika tidak ada parpol yang mengusung. Jika pun berpeluang,  sepak terjang HRS lebih menggambarkan sebagai tokoh moral, spiritual. Ketimbang ambisi menduduki jabatan formal presiden.

Meskipun HRS muncul dalam nominasi capres dalam rapat persaudaraan 212, lebih kepada strategi konsolidasi dan bargaining position jelang Pilpres 2019.

Tampaknya, peran yang dimainkan sekarang HRS  sebagai tokoh sentral, leader_ public opinion_ .  Dan jangan lupa, dibalik hancurnya trust partai politik,  maka kekuatan anti tesis kerap mendapat tempat di hati rakyat. Peran ini lebih besar magnit dan pengaruhnya pada struktur kekuasaan formal. Fatwanya diikuti sebagian kalangan rakyat, khususnya, kelompok Islam yang terpinggirkan. Sehingga, peran non formal elite tandingan ini sangat berpengaruh. Misalnya, berefek, salah satu penyebab kekalahan Ahok. Menjadi kekuatan pendorong kampanye ganti presiden 2019.

Berkaca pada pengalaman pemilu DKI, preseden ini  bisa berkontribusi menghambat peluang bagi para capres,  khususnya Jokowi. Apalagi, opini yang terbangun Jokowi anti atau sekurangnya bersebarangan dengan aspirasi umat islam.

Fenomena HRS menjadi kompleks.  Ia punya efek terhadap penguatan barisan oposisi. Apalagi, sebagaian besar, ormas dan orpol berbasis massa islam beraliansi dengan kekuatan oposisi. Kekuatan ini akan mengusung dan mendukung pencapresan Prabowo.

Konstelasi ini,  sangat merepotkan Jokowi. Sebab, Jusuf Kala, sosok cawapres 2014 yang mampu mendulang suara pemilih islam dan  wilayah luar jawa, sehingga mengantarkan Jokowi menjadi presiden. Posisi JK, pasangan Jokowi, kini belum tergantikan. Guna memperkuat dukungan Jokowi pada pilpres mendatang.

Dalam relasi dan interaksi kekuatan elite politik yang akan bertarung untuk  memenangkan kotestasi, tentu akan memainkan berbagai jurus dan strategi.

Maka pencalonan HRS bisa juga dilihat sebagai  bagian dari strategi konsolidasi dan penguatan bagi kelompok atau kekuatan islam termarjinalkan. Dalam konteks ini, fenomena HRS punya peran multiganda.  Ia sebagai artikulator,  komunikator,  juga sebagai kekuatan presure dalam mempengaruhi jalannya pilpres. Peran ini terus menguat,  karena diluar sana, krisis legitimasi dan trust politik menggrogoti institusi politik formal.

Jika dilihat aktivitas komunikasi politik, meski dalam pengasingan,  faktanya HRS kini menjadi tokoh sentral dalam dinamika politik pilpres 2019. Seolah olah untuk sebagian tokoh atau kelompok umat islam, setiap langkah politik mereka menunggu fatwa atau komando HRS.  Jadi realitas politik HRS tidak bisa dianggap remeh.

Sedikit banyaknya suara HRS akan didengar dan mempengaruhi sebagian pemilih pada pemilu dan pilpres 2019. Disisi lain, peran komunikasi politik partai tidak berjalan efektif mempengaruhi masyarakat. Saluran komunikasi dan berita media massa mainstreem juga kehilangan trust nya. Karena, fungsi kontrol sosial sudah berubah menjadi alat kekuasaan. Upaya sistematis untuk membunuh karakter HRS tak membuahkan hasil. Yang terjadi justru sebaliknya. HRS semakin berkibar.

Dalam keadaan seperti ini, opinion leader  dan medsos telah menggantikan peran media komunikasi politik  konvensional. Karena itu,  fenomena HRS, tidak lagi sebagai fenomena biasa . Ia sudah menjadi menjadi elite tandingan dalam percaturan politik nasional. Meskipun ia bukan tokoh atau berada dalam struktur politik formal. (Copas Media Online)