Keputusan ini memicu beragam reaksi dari masyarakat. Sebagian pihak mendukung langkah BNN yang dinilai lebih manusiawi dan sesuai dengan prinsip rehabilitasi yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika.
Namun, ada pula kritik yang menilai kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan kesan istimewa bagi artis, sementara masyarakat biasa yang terjerat narkoba masih menghadapi penegakan hukum yang keras.
Pakar hukum pun mengingatkan pentingnya memahami bahwa kebijakan ini bukan berarti melegalkan penggunaan narkoba, melainkan mengubah pendekatan dari represif ke rehabilitatif sebagaimana dianjurkan oleh regulasi nasional. Kepala BNN juga menegaskan bahwa mereka tidak mencari popularitas melalui penangkapan artis.
“Kami tidak butuh popularitas untuk menangkap artis,” ucap Marthinus. Sebaliknya, BNN ingin menghindari efek “bad news is good news” yang selama ini justru memperkuat mitos bahwa menjadi artis dan menggunakan narkoba adalah hal yang biasa dan bahkan bisa meningkatkan popularitas.
Dengan kebijakan ini, BNN berharap dapat memutus mata rantai promosi tidak langsung narkoba di masyarakat dan memberi kesempatan bagi para pengguna, termasuk artis, untuk pulih dan kembali berkontribusi positif tanpa stigma.
Pendekatan ini sekaligus menegaskan komitmen BNN dalam memberantas peredaran narkoba dari hulu ke hilir dengan fokus utama pada penindakan bandar besar dan jaringan narkoba internasional.
Kebijakan baru ini menjadi sinyal perubahan paradigma dalam pemberantasan narkoba di Indonesia, di mana rehabilitasi dan edukasi menjadi prioritas utama dibandingkan tindakan represif yang selama ini lebih dominan.
Bagi publik, perubahan ini mengajak untuk melihat narkoba bukan sekadar masalah hukum, tapi juga persoalan sosial dan kesehatan yang perlu penanganan komprehensif dan manusiawi.
Sumber : Jatinangorku