“Saya mendukung pluralitas,” tegas Dr Habib Rizieq Syhihab, Ketua Front Pembela Islam (FPI) Pusat saat menjadi narasumber dalam dialog lintas agama, Selasa (27/12) di Gedung Teater UPT STAIN Pontianak.
Kegiatan itu diselenggarakan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), PW Muhamadiyah, Program Pasca Sarjana STAIN Pontianak, FPI Kota Pontianak, Forum Peduli Ibu Pertiwi, Caireu STAIN Pontianak, dan Yayasan Swadaya Dian Khatulistiwa.
Narasumber lainnya, Pdt Dr Barnabas Simin dari tokoh Nasrani. Dari kalangan Hindu diwakili Ir Putu Dupa Bandem yang merupakan Ketua PHDI Kalbar, dan dari pihak Polda Kalbar diwakili Kombes Suhadi SW.
Meski setuju dengan pluralitas, namun Habib menolak doktrin pluralisme yang membenarkan semua agama. “Saya tidak setuju jika ada klaim tentang semua agama sama. Konsep ini dibangun oleh satu kelompok yang mengatasnamakan doktrin pluralisme. Bagi saya, Islam paling benar, sebaliknya dari kalangan lain bisa saja menganggap agama mereka yang lebih baik dan ini dibenarkan menurut keyakinan masing-masing,” ungkap Habib.
Menurut Habib, Islam terbuka dan bisa bekerja sama dengan siapa pun, namun Islam melarang mencampuradukkan keyakinan dan ritual sejenisnya. “Urusan bermuamalat, sosial, dan lain sebagainya Islam terbuka, namun untuk urusan aqidah dia tidak boleh campur aduk,” kata dia.
Demikian sikap FPI. Menurut Habib, organisasi yang membuka cabang di seluruh Indonesia ini bisa bekerja sama dengan pihak mana pun. “Kami (FPI, red) sudah sering bekerja sama dengan GBI dan GKI untuk bidang sosial kemasyarakatan seperti di Aceh, Padang, dan beberapa peristiwa alam lainnya,” ujar dia.
Pdt Dr Barnabas Simin dari tokoh Nasrani pada dialog itu menuturkan, pluralitas tetap sama dan menjunjung tinggi UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. “Prinsipnya kami sama dengan Habib yang mendukung pluralitas,” tegas Barnabas Simin.
Di Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki banyak suku dan agama. “Dan itu semua sudah diatur dalam undang-undang. Makanya kita sebagai umat manusia agar bisa menjaga perasaan dan menghargai keyakinan orang lain,” tegasnya.
Mewakili umat Hindu, Ir Putu Dupa Bandem mengatakan keyakinan memang tidak boleh dicampuradukkan dengan persoalan lain. “Ranahnya berbeda, namun tidak untuk bidang sosial kemasyarakatan,” kata Putu.
Dia bahkan mengajak FKUB untuk membuat gawai serupa dengan yang lebih besar dan terbuka. “Pluralitas bisa dijalankan semua umat dengan cara meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap agamanya,” ajak Putu.
Sedangkan Kombes Suhadi SW menjelaskan dialog lintas agama sangat baik diselenggarakan. “Manfaatnya sangat luas, ini juga sebagai ajang komunikasi dan menyampaikan aspirasi kepada segenap masyarakat,” katanya.
Dialog lintas agama ini untuk pengetahuan sebagai memahami pluralitas dalam perbedaan yang ada. “Oleh karena itu harus bisa memahami dan menghargai antara satu yang lain, sehingga tidak ada dusta di antara kita,” kata Ketua Panitia Ahmad Jais MAg, pada saat memberikan sambutan.
Dosen dakwah ini menceritakan, salah satu ungkapan Paus Paolus II ketika berkunjung ke Indonesia tahun 1986 mengatakan ujiannya kepada dunia bahwa kalau ingin melihat kerukunan yang ada di dunia, lihatlah Indonesia. Negaranya yang rukun dan sangat harmonis. Bisa dicontohkan oleh negara lain.
Ketua STAIN Pontianak Drs H Hamka Siregar MAg menggambarkan dua peristiwa penting pada akhir tahun 2012 ini. Salah satunya kasus Mesuji Lampung dan Bima NTB. “Sebagai anak bangsa hati saya tergetar, apakah ini sesungguhnya berada dalam penyimpangan sejarah. Saya khawatir bahwa bangsa yang bernama Indonesia ini, itu akan menjadi kehilangan sejarahnya. Tapi mudah-mudahan tidak akan terjadi,” ujarnya.
Sementara itu, Wagub Kalbar Christandy Sanjaya SE MM dalam dialog itu mengatakan kegiatan tersebut sangat diperlukan apalagi pada situasi dan kondisi oleh bangsa Indonesia saat ini. “Yang kita sadari bersama di negeri kita tercinta ini, supaya kita tetap damai dan sebagainya,” ujarnya.
Menurut Christandy, kalau mencermati kejadian bentrok antara masyarakat dengan aparat kepolisian di Bima dan Mesuji ini, semua tokoh-tokoh agama, LSM, dan ormas juga ikut untuk mendinginkan supaya kasus ini tidak terulang kembali. “Kita menyadari kalau etnis itu adalah kehendak Tuhan bukan kehendak manusia, karena kita tidak bisa memilih untuk menjadi etnis apa,” jelasnya.