Assalamualaikum Wr.Wb.
Bismillaah.
Kamis, 8 Mei 2014 saya terjadwal untuk ceramah siang di Kemuning,
Semarang dan malam di Bonang, Demak. Di Kemuning acara sukses dan berkah
tanpa halangan apa pun, bahkan Polsek Sumowono dan Polsek Bandungan
sangat kooperatif.
Lain halnya di Bonang, Polres Demak yang semula kooperatif, tiba-tiba
dapat tekanan dari kelompok yang mengaku sebagai pimpinan Banser dan
Anshor Demak. Pada Rabu, 7 Mei 2014, sehari sebelum acara, Polres
menggelar pertemuan antara panitia dan kelompok tersebut hingga tengah
malam, karena issu di berbagai media sudah seram, hingga ada ancaman
penghadangan penceramah dan pembakaran pesantren pengundang. Intinya,
semula kelompok tersebut menuntut agar saya tidak boleh hadir, namun
akhirnya boleh hadir tapi tidak boleh ceramah.
Menurut informasi Panitia bahwa Pimpinan kelompok tersebut bernama
Musta'in dan Abdul Aziz, masing-masing mengaku sebagai Ketua Banser
Demak dan Ketua Anshor Demak. Uniknya, dalam pertemuan tersebut keduanya
mengklaim bahwa tuntutan mereka adalah instruksi lisan dari Pimpinan
Pusat GP Anshor dan salah seorang pimpinan PBNU di Jakarta, dengan dalih
saya dan FPI adalah aliran sesat karena dulu bermusuhan dengan Gus Dur.
Singkat cerita, ada kesepakatan semu antara Polres dan kelompok
tersebut yang dipaksakan ke panitia bahwa saya tidak boleh ceramah.
Aneh !!! Selama ini hubungan saya dengan PBNU dan GP Anshor di Jakarta
sangat baik. Bahkan di luar Pulau Jawa, ikhwan Banser sering ikut
mengawal dakwah saya. Di Jawa Barat, Banser berkawan akrab dengan Laskar
FPI. Di Jawa Timur, PWNU justru mengajak saya dan FPI untuk ikut
memperjuangkan penutupan tempat pelacuran Dolly di Surabaya. Di Tegal,
justru Banser dan Anshor serta Fatayat NU yang mengundang saya untuk
berdakwah.
Sangat aneh !!! Sejak awal berdiri Anshor dan Banser adalah barisan
terdepan NU yang jadi benteng ulama dan pembela pesantren serta garda
bangsa. Anshor dan Banser lah yang mati-matian melawan PKI untuk membela
agama dan negara. Jadi, ada apa dengan Anshor dan Banser Demak ???!!!
Urusan saya dengan Gus Dur sudah lama selesai, apalagi setelah wafatnya
beliau. Itu pun bukan urusan sentimen pribadi, tapi urusan saya wajib
melawan pemikiran Liberalnya yang sesat dan menyesatkan untuk
menyelamatkan akidah umat Islam.
Selidik punya selidik, ternyata salah satu oknum yang memimpin kelompok
pengancam tersebut namanya sudah santer terkenal di wilayah Bandungan,
Kabupaten Semarang sebagai oknum yang membekingi aneka tempat maksiat di
sana. Pantas dia ngotot bahwa saya dan FPI tidak boleh ada di Demak,
ternyata terkait masalah bisnis haramnya.
Andaikata, Habaib atau Kyai Aswaja yang istiqomah yang melarang saya
ceramah, tentu "sam'an wa thoo'atan" saya patuh untuk tidak ceramah.
Namun, jika preman yang menuntut, maka tentu tidak akan saya turuti.
Apalagi preman yang mengatasnamakan ormas Islam Aswaja, tentu wajib saya
ganyang penjahat begundal pecundang macam itu untuk menghentikan
kejahatannya, sekaligus menyelamatkan ormas Islam yang ditungganginya.
Karenanya, saat saya dan istri serta beberapa kawan tiba di Demak, Kamis
malam Jumat ba'da Isya, lalu anitia pun melaporkan soal "kesepakatan
semu" tersebut. Maka saya minta kepada panitia agar hal tersebut
disampaikan secara terbuka kepada ribuan umat Islam yang sudah memadati
lokasi acara, lalu tanyakan kepada umat, apakah mereka setuju dengan
"kesepakatan semu" tersebut? Setelah disampaikan, ribuan umat Islam
secara aklamasi dengan penuh semangat meminta saya untuk tetap ceramah.
Saya pun ceramah sekitar satu jam tentang bahaya takfir. Di penutup
ceramah saya berpesan kepada kelompok pengancam agar nanti kalau mau
menghadang saya, maka mereka harus bunuh saya agar saya mati syahid
dalam berdakwah, sehingga tugas saya selesai. Jangan sampai mereka tidak
bunuh saya, karena kalau saya tetap hidup, maka saya khawatir saya akan
balas dendam untuk menghabisi mereka, ke lobang semut pun akan saya
kejar, sehingga tugas saya jadi lebih panjang dan lebih berat lagi.
Usai ceramah, pihak Polres menawarkan saya menginap di Kota Semarang
untuk keamanan, tapi saya menolak, karena saya tetap ingin bermalam di
Pesantren Tahfizhul Qur'an An-Nuriyah selaku tuan rumah pengundang,
sekaligus saya mau lihat apa yg mau dilakukan oleh para begundal
pengancam. Hingga pagi semua berjalan normal. Saya pun berpesan kepada
Kapolsek dan Danramil setempat agar menjaga dan melindungi pesantren
dari gangguan jahat pihak mana pun. Saya juga bersumpah, kalau pesantren
diganggu, maka para pengganggu akan kami kejar untuk dibasmi. Bagi
kami, hanya PKI yang selama ini mengganggu habaib dan kyai serta
pesantren.
Lalu Jumat pagi jam delapan saya dan istri serta rombongan berangkat ke
Bandara Semarang untuk pulang ke Jakarta. Kami pun tiba di rumah dengan
selamat. Alhamdulillaah.