Selain Ijazah asli lulusan Fakultas Kehutanan UGM dan Transkrip nilai asli, yang ada pada kami saat ini sebelumnya sudah terlalu banyak data, terlalu terang benderang fakta.
Penelitian independen yang kami lakukan selama ini, oleh RRT: Roy, Rismon, Tifa dkk, telah menyusuri tiap inci jejak digital, menyandingkan bukti otentik, membedah narasi dan gerak tubuh dengan neurosains dan ilmu perilaku, memverifikasi dokumen lintas waktu, bahkan mengkonfirmasi silang melalui historiografi, komunikasi politik, hingga sosiopatologi jaring-jaring kekuasaan.
Namun, pelaku yang masih berkuasa tidak akan diam. Peningkatan status dari penyelidikan menjadi penyidikan yang begitu cepat, bukan karena kekuatan bukti, melainkan karena ketakutan akan kebenaran.
Inilah modus yang berulang: seperti pembungkaman terhadap Bambang Tri, seperti pemenjaraan terhadap Gus Nur, kekuasaan yang terguncang selalu menjawab dengan intimidasi.
Kita tidak sedang menghadapi hukum yang netral. Kita sedang menghadapi pelaku yang panik. Pelaku yang kehilangan kendali atas narasi. Pelaku yang tidak mampu lagi membedakan mana penguasa dan mana kebenaran.
Saya, dr. Tifa, menyatakan bahwa ini bukan tentang saya. Ini tentang bangsa ini, tentang masa depan anak-anak kita, tentang integritas negara, tentang kehormatan konstitusi.
Jika saya harus dibungkam karena menyuarakan yang benar, maka biarlah sejarah yang mewakili saya bicara.
Karena sejarah tidak memihak mereka yang berkuasa. Sejarah memihak mereka yang berdiri tegak ketika seluruh dunia memilih berlutut dan diam.
Dan ketika bangsa ini suatu saat nanti menoleh ke belakang, mereka akan menemukan bahwa kebenaran pernah diperjuangkan, bahkan saat langit tampak gelap, bahkan ketika suara kami nyaris hilang.
Ijazah itu sudah selesai. Yang belum selesai adalah keberanian kita melawan kebusukan.
(disebar-luaskan oleh Agus Yunanto - Sekjen FDI).