I. PENDAHULUAN
Sejak diselenggarakannya Pilkada langsung telah terjadi berbagai
kekerasan bahkan kerusuhan yang terjadi secara sporadis di beberapa
tempat. Jumlah kerusuhan yang terjadi dalam 200-an pilkada sampai 2010
dan yang sudah berjalan di akhir putaran kedua ini memicu perdebatan
mengenai masa depan pilkada langsung. Ada beberapa argumen yang
mendasari mengapa pemilihan Calon Gubernur dan Calon bupati/Walikota harus dikembalikan ke sistem permusyawaratan dan perwakilan sebagaimana awal masa reformasi, yaitu:
1. Biaya pemilihan Gubernur sangat mahal, biaya ini tidak hanya
dihitung seberapa besar Pemda mengeluarkan uang untuk menyelenggarakan
Pemilu Gubernur tapi juga termasuk biaya para pasangan calon dalam
mengorganisir diri untuk memenangkan Pemilu. Biaya besar yang
dikeluarkan para pasangan calon ini dikawatirkan berpotensi negatif pada
saat memimpin nanti, yaitu cenderung berusaha mengembalikan “modal
biaya kampanye” apabila pasangan tersebut menang dalam pemilu Gubernur.
2. Partisipasi Pemilih Rendah. Pendapat yang mengatakan bahwa
pemilihan secara langsung memiliki legitimasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pemilihan melalui perwakilan terbukti keliru. Karena
pada faktanya partisipasi pemilih dalam Pilkada Langsung sangat rendah.
Penurunan partisipasi ini sejalan dengan menurunnya keyakinan
masyarakat terhadap kemampuan kepala daerah hasil pilkada
langsung. Selain itu, kondisi tersebut didorong oleh kekecewaan
masyarakat terhadap partai politik yang kerap kali menyodorkan calon
yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat sebagai hasil dari
proses pencalonan yang diduga penuh dengan KKN dan politik uang,
serta kekecewaan masyarakat terhadap kelalaian KPU dan para
pengawas dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang adil dan
transparan. Kekecewaan itu memunculkan respon mulai dari mengu-atnya
apatisme di kalangan masyarakat, gejala protest voters yang
meluas hingga golput, serta munculnya aspirasi calon perseorangan
atau calon independen. Selain itu, banyak pihak berpendapat bahwa
pilkada yang telah dilakukan justru tidak memperkuat makna dari
desentralisasi yang sesungguhnya, yaitu memperkuat integrasi di tataran
negara kesatuan.
3. Kualitas Kepala Daerah. Pilkada langsung
yang mengusung calon kepala daerah/wakil secara berpasangan ternyata
juga tidak sepenuhnya mampu menghadirkan pemimpin daerah yang kompak dan
serasi dalam mewujudkan visi dan misi yang mereka janjikan selama
kampanye. Data dari 2005 hingga 2011 telah menunjukkan, dari 753
pasangan Kepala Daerah / Wakil terpilih, hanya 21 pasangan yang masih
tetap maju dengan pasangan yang sama untuk periode selanjutnya. Artinya,
hanya 2,6 persen yang masih setia, sementara 97,4 persen pasangan
kepala daerah dan wakilnya "pecah kongsi". Dampak dari pecah kongsi ini
tidak hanya menyebabkan bingungnya birokrasi, tetapi juga merupakan
pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat, karena tidak jarang
mereka mengumbar konflik di depan publik. Bahkan, dari 753 pasangan
kepala daerah/wakil kepala daerah yang terpilih dari 2005 hingga akhir
2011, sebanyak 275 orang (18,2 persen) terjerat masalah hukum, baik
sebagai saksi, tersangka, terdakwa, maupun terpidana. Angka tersebut
belum termasuk pejabat struktural dan anggota DPRD yang harus "terseret"
kasus yang sama dengan kepala daerah dan wakilnya.
4. Ancaman
Laten Terhadap Stabilitas Politik Nasional. Salah satu tujuan Pilkada
Langsung adalah menciptakan stabilitas politik dan efektifitas
pemerintahan di tingkat lokal, karena Pilkada Langsung dianggap memiliki
legitimasi yang kuat. Namun pada faktanya Pilkada Langsung yang
merupakan pestanya rakyat daerah, justru diartikan sebagai kebebasan
rakyat untuk berbuat apa saja, termasuk melakukan tindakan-tindakan
anarki dalam pelaksanaan Pilkada serta mengambil keuntungan pribadi dari
pelaksanaan Pilkada tersebut. Sengketa Hasil Pilkada Langsung
seringkali terjadi dan memunculkan beberapa penolakan terhadap hasil
perolehan dan perhitungan suara.
II. TENTANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH (GUBERNUR)
(a) Fungsi Pemerintahaan Provinsi
Indonesia yang menganut bentuk negara kesatuan sejak diterapkannya
Pilkada Langsung tujuh tahun silam (2005-2012) banyak mengalami berbagai
kerusuhan komunal, vertikal, dan horizontal. Berbagai kerusuhan yang
berkepanjangan di banyak daerah akibat Pilkada Langsung menyebabkan
lemahnya kendali pemerintah pusat terhadap sektor-sektor strategis di
daerah. Hal ini sangat membahayakan, Pilkada Langsung ini jelas-jelas
telah melemahkan integrasi elemen-elemen bangsa yang seharusnya fokus
membangun bangsa dengan mengelola sumber daya alam (SDA) yang ada di
daerahnya masing-masing. Kita justru lebih banyak melihat elemen-elemen
bangsa sibuk mengelola konflik akibat dampak negatif dari Pilkada
Langsung. Hal ini mempengaruhi eksistensi Indonesia sebagai negara
kesatuan yang semakin hari mulai bergeser ke arah sistem negara semi
federal yang terkotak-kotak.
Problematika lainnya yang patut
diperhatikan mengenai sistem dari pemerintahan daerah itu sendiri.
Problematika tersebut adalah mengenai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
yang memiliki kekurangan mendasar dalam daerah menempatkan otonom
provinsi dengan daerah otonom kabupaten/kota yang pada akhirnya akan
berujung pada bagaimana mengkonstruksikan posisi gubernur dan cara
memilihnya.
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa :
(1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan.
(2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden.
Pengaturan dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana
tersebut di atas secara jelas menyatakan bahwa dengan
menempatkan gubernur sebagai wakil Pemerintah di provinsi maka secara
otomatis posisi provinsi juga bukan hanya berstatus sebagai daerah
otonom saja tetapi juga merupakan wilayah kerja gubernur sebagai wakil
pemerintah.
Karakteristik khas dari posisi provinsi seperti
yang dijelaskan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut,
dalam penyelenggaraan pemerintahan lebih banyak berkenaan dengan
pelaksanaan aktivitas dekonsentrasi ketimbang aktivitas desentralisasi.
Pelaksanaan asas dekonsentrasi ini melahirkan pemerintahan local
administrative. Daerah administratif meliputi tingkat provinsi,
kabupaten, dan kecamatan. Pemerintahan administratif diberi tugas atau
wewenang menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan pusat yang ada di
daerah. Oleh karena itu, dalam kasus Indonesia pada lingkup provinsi
maupun kabupaten/kota, dalam aspek elektoral jika dilakukan Pilkada
Langsung, akan terjadi ketidakselarasan dengan posisi provinsi dan
kabupaten/kota sebagai wilayah kerja sebagai wakil Pemerintah.
(b) RUU Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur)
Dalam RUU Pemilihan Kepala Daerah, paling tidak ada 3 (tiga) point yang menjadi perhatian. Antara lain adalah:
1. Pasal 1 angka 21 yang menyebutkan bahwa: “Pemilih untuk
Pemilihan Gubernur adalah Anggota DPRD Provinsi atau sebutan lainnya.”
Dan Pasal 2 yang menyebutkan bahwa: "Gubernur dipilih oleh Anggota DPRD
Provinsi..."
2. Pasal 29 mengenai penetapan hasil pemilihan,
yaitu: “mengenai calon gubernur telah mendapat suara sekurang-kurangnya
setengah ditambah satu (50% + 1) dari jumlah anggota DPRD yang hadir,
pemilihan dinyatakan selesai”
3. Pasal 11 mengenai persyaratan
pengajuan calon gubernur. Yaitu “Peserta pemilihan gubernur adalah calon
gubernur yang diusulkan oleh fraksi atau gabungan fraksi di DPRD
Provinsi”
(c) Usulan RUU Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur)
1. Sistem permusyawaratan dan perwakilan (Pilkada dipilih oleh DPRD)
dalam memilih calon gubernur awal masa reformasi relatif lebih efektif
dan efisien dan sejalan dengan sistem negara kesatuan yang dianut oleh
Indonesia.
2. Menjawab kebuntuan Pilkada Langsung yang
partisipasi pemilihnya rendah. Pasal 29 tentang keterpilihan gubernur
sekurang-kurangnya mendapatkan dukungan setengah ditambah satu (50% + 1)
dari jumlah anggota DPRD yang hadir. RUU Pemilihan Kepala Daerah dalam
konteks ini sudah cukup baik. Dan membantah pendapat yang mengatakan
bahwa pemilihan secara langsung memiliki legitimasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pemilihan melalui perwakilan terbukti keliru. Karena
pada faktanya partisipasi pemilih dalam Pilkada Langsung sangat rendah.
3. Pasal 11 mengenai persyaratan pengajuan calon gubernur. Yaitu
“Peserta pemilihan gubernur adalah calon gubernur yang diusulkan oleh
fraksi atau gabungan fraksi di DPRD Provinsi”. Ini harus di revisi
mengingat penguatan legitimasi calon gubernur yang akan dipilih oleh
DPRD merupakan representasi dari rakyat harus dibuktikan dengan memenuhi
persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari
jumlah kursi DPRD.
III. TENTANG PEMILIHAN BUPATI/WALIKOTA
a. Fungsi Pemerintahan Kabupaten/Kota
Pemerintahan Kabupaten/Kota merupakan pemerintahan daerah yang paling
bawah dan paling dekat interaksinya dengan masyarakat. Kedekatan ini,
pada gilirannya, akan menjadikan pemerintahan daerah tersebut diharapkan
untuk paling akuntabel, paling responsif, paling efisien dan paling
efektif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, melaksanakan
pembangunan daerah, dan menjamin kesinambungan efektivitas pemerintahan
nasional.
Realitasnya dalam Pilkada Langsung fungsi
pemerintahan kabupaten/kota mulai dari pencalonan sudah disibukan oleh
berbagai kesibukan proses administratif pencalonan yang panjang,
kemudian dilanjutkan dengan agenda kampanye membutuhkan financial yang
luar biasa besar. Setelah terpilih disibukan dengan sengketa-sengketa
Pilkada yang menggugat hasil pemilihan secara langsung. Pertanyaanya
kapan pemrintahan kabupaten/kota yang terpilih melayani kepentingan
rakyat? Itu berarti pemerintahan kabupaten/kota yang dipilih melalui
pilkada langsung sudah kehilangan fungsinya dan sudah menyimpang dari
tujuan awal, yaitu terwujudnya pemerintahan yang akuntabel, responsif,
efisien dan efektif.
b. RUU Pemilihan Kepala Daerah (Bupati/Walikota)
1. Pasal 71, mengenai calon Bupati/Walikota dapat diajukan dari partai politik dan calon perseorangan.
c. Usulan RUU Pemilihan Kepala Daerah (Bupati/Walikota)
1. Sistem permusyawaratan dan perwakilan (Pilkada dipilih oleh DPRD)
dalam memilih calon gubernur awal masa reformasi relatif lebih efektif
dan efisien dan sejalan dengan sistem negara kesatuan yang dianut oleh
Indonesia.
2. Bahwa Pasal 71, mengenai calon perseorangan untuk
calon Bupati/Walikota dihapuskan sebagai konsekuensi dari sistem
keterwakilan yang sudah diwakili oleh DPRD. Calon perorangan bisa
mengikuti seleksi yang nanti akan diselenggarakan oleh partai politik
secara internal sesuai dengan kebijakan parpol yang memiliki wakil di
DPRD.
3. persyaratan pengajuan calon Bupati/Walikota harus
memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen)
dari jumlah kursi DPRD.
IV. KESIMPULAN
Pilkada langsung
nyatanya telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya memakan waktu
yang sangat panjang, sehingga sangat menguras tenaga dan pikiran, belum
lagi biaya yang begitu besar, perpecahan internal parpol, money
politic, dan kecurangan dalam bentuk penggelembungan suara yang
melibatkan banyak pihak termasuk instansi resmi, serta ancaman
disintegrasi sosial. Oleh karena itu, Pilkada Langsung keberadaannya
perlu ditinjau ulang sebagai upaya memperkuat dan mengembalikan sistem
permusyawaratan dan perwakilan. Untuk memperkuat sistem permusyawaratan
dan perwakilan ini, keberadaan MPR, DPR, DPD dan DPRD harus ditata
secara proporsional agar berjalan dan bekerja lebih efektif dan efisien.
Melihat jalannya Pilkada Langsung yang kian carut-marut dan semakin
banyak menimbulkan rusakan, sangatlah mendesak untuk segera
membenahinya. Apabila kita terlambat, dikhawatirkan Indonesia akan
meraih predikat sebagai negara yang gagal dalam melaksanakan regenerasi
kepemimpinan bangsa. Indonesia sebagai sebuah bangsa telah memiliki
kepribadian sendiri, yaitu negara kesatuan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan akan terancam
eksistensinya, jika semangat federalisme - liberalisme yang dipilih
dalam suksesi politik diberbagai daerah di Indonesia (Pilkada Langsung)
telah terbukti gagal terus dilanjutkan. Maka kekayaan, Keamanan dan
keselamatan negara akan menjadi taruhannya. Oleh karena itu
mengembalikan pemilihan gubernur Calon Gubernur dan Calon
bupati/Walikota dengan sistem permusyawaratan dan perwakilan adalah
langkah yang bijaksana pada saat ini.