Pemilu tinggal sebulan lagi. Partai politik sudah bersiap-siap jauh-jauh hari untuk memenangkan pemilu dengan berbagai cara. Antara lain melalui pencitraan lembaga survei dengan mengadakan polling, penelitian dan lainnya. Pemilu di Indonesia masih tetap dicirikan dengan pertarungan partai-partai nasionalis sekuler dengan partai-partai Islam atau berbasis massa Islam. Banyak lembaga survei seolah kompak memberi stigma partai-partai Islam akan kalah dengan partai nasionalis sekuler.

Di Indonesia, kelompok sekuler gencar melakukan penghancuran nilai-nilai akidah Islam. Juga melakukan penghancuran institusi politik Islam. Operasi penjatuhan citra Partai Islam melalui kasus korupsi seperti yang dialami PKS, PPP, dan PBB.  Penghancuran Karakter Ormas Islam yang dianggap intoleransi, anarkis, dan penghancuran karakter tokoh-tokoh  Islam.

Untuk mendalami permasalahan tersebut, berikut wawancara Suara Islam dengan Munarman, mantan Ketua YLBHI yang kini berkiprah dalam kancah perjuangan umat Islam. Berikut petikannya.

Ideologi sekuler-liberalisme Barat menjadikan Islam sebagai musuh ideologi, secara global, dimana-mana, di banyak negara, termasuk di Indonesia. Setiap proses pergantian kekuasaan di suatu negara, dimenangkan kelompok Islam ideologis, Barat terutama Amerika akan bereaksi memusuhi Islam ideologis yang tampil memegang kekuasaan pemerintahan. Bagaimana pandangan Anda..?

Sejak runtuhnya komunisme di Uni Soviet dan berakhirnya era perang dingin, ideologi liberalisme yang diusung kekuatan Barat memang menjadikan Islam sebagai musuhnya menggantikan komunisme. Sebab dalam doktrin mereka, harus selalu ada musuh bersama guna menyatukan kekuatan mereka pada satu blok, yaitu blok liberalisme dengan sistem demokrasi dan kapitalismenya. Baca saja buku Samuel Hutington dalam bukunya Who We are dan Clash of Civilization. Disitu jelas sekali doktrin yang ditanamkan bahwa, era setelah perang dingin adalah era ancaman dari kekuatan Islam. Padahal pada saat era perang dingin, mereka menginfiltrasi dan “menggunakan” kekuatan Islam untuk berada di front terdepan melawan komunisme. Karena Islam mereka jadikan musuh utama mereka, maka mereka harus menyusun grand strategy dalam melemahkan kekuatan Islam.

Grand strateginya adalah membesarkan Islam ritual dan memusnahkan Islam sebagai kekuatan politik. Strategi ini dilakukan untuk menimbulkan kesan bahwa yang mereka musuhi adalah Islam Politik yang mereka asosiasikan dengan terorisme, fundamentalisme, radikalisme dan berbagai stigma negatif lainnya. Sementara untuk Islam ritual mereka “biarkan” bahkan bila perlu “didukung” untuk menciptakan image bahwa mereka tidak memusuhi ajaran Islam, tapi memusuhi sekelompok umat Islam. Padahal hakekatnya, Islam ritual pun mereka habisi, seperti yang terjadi di Swiss dengan pelarangan menara masjid. Di Perancis dengan larangan hijab dan soal hijab ini juga terjadi pelarangan hingga hari ini di Indonesia.

Nah terkait Islam ideologis yang ditanyakan tadi, jelas bahwa mereka sangat khawatir bila sebuah negara berpenduduk muslim mayoritas dipimpin oleh kekuatan Islam ideologis, sebab ini dapat menghancurkan status quo mereka, yaitu kekuatan sekuler liberal, dalam menguasai negeri-negeri muslim. Mereka kan sudah menikmati secara ekonomi dan politik melalui kaki tangan mereka kaum sekuler liberal lokal, mereka sebut our local friends. Jadi berbahaya bagi kelangsungan kehidupan duniawi mereka.

Di Indonesia, Islam dan kelompok-kelompok ideologis Islam menjadi sasaran serangan jaringan kelompok sekuler-liberal yang disponsori Barat. Serangan dilakukan di semua  aspek kehidupan, terutama penghancuran terhadap nilai-nilai akidah Islam  melalui industri hiburan dan maksiat (Miras, Narkoba), Budaya Westernisasi (Film/Cinema, Acara Televisi), Pendangkalan Akidah (Kawin Lintas Agama), dan stigmatisasi terorisme,  dll. Bagaimana tanggapan Anda..? Apa selama ini kelompok Islam ideologis sudah cukup melakukan respon perlawanan..?

Kita harus lihat dari dua sudut pandang, bahwa secara eksternal, kaum kuffar itu pasti akan menghancurkan akidah umat Islam, itu sudah dari sananya, karena kaum kuffar adalah bala tentara iblis yang bernama  setan berasal dari kalangan jin dan manusia, nah kaum sekuler liberal ini kan adalah bala tentara iblis yang berasal dari kalangan manusia, dan iblis sudah bersumpah untuk menyesatkan anak cucu Adam sebanyak-banyaknya. Secara internal, perlawanan umat Islam belum menyatukan antara akidah, syariat, dan manhaj (strategi dan taktik). Sehingga perlawanan tersebut gampang dipatahkan. Misalnya, ada sekelompok yang hanya melakukan perlawanan semata-mata  berdasarkan akidah tanpa menyertakan syariat, strategi dan taktik, ada yang bersemangat sekali melakukan perlawanan dan semata menekankan perlawanan dari segi strategi dan taktik tanpa memperdulikan akidah dan syariat. Jadi perlu untuk menyatukan itu semua.

Selain penghancuran terhadap pokok-pokok akidah Islam, serangan sekuler-liberal juga dilakukan terhadap institusi-institusi Islam, termasuk, pertama, Partai-partai Islam dengan polling dan survei seolah Partai Islam akan ‘jeblog’ dalam Pemilu 2014, dan juga dengan pencuatan kasus-kaus tokoh-tokoh partai Islam dengan  kasus korupsi seperti yang dialami PKS, PPP,  PBB dan lainnya. Kedua,  penghancuran Ormas Islam dengan pencitraan Ormas intoleran, Ormas ekstrem, ormas kekerasan, dan citra negatif lainnya.

Bagaimana menurut Anda Partai dan Ormas Islam harus merespon serangan seperti ini..?

Ini masalahnya cukup rumit juga, dilema bagi kita, pada satu sisi memang tokoh-tokoh yang mengusung nama Islam tersebut sering ”bermain” di wilayah abu-abu atau di tepi jurang, ini sangat memungkinkan untuk tergelincir dan akhirnya beberapa memang tergelincir. Namun masalahnya adalah, ekspose besar-besaran terhadap ketergelinciran tersebut yang patut menjadi perhatian kita semua. Coba kita perhatikan, dalam kasus Anggoro ini, yang diekspose habis-habisan justru adalah ketua umum PBB, bukan lagi Anggoro dan Anggodo yang dulu bisa mengintervensi kepolisian. Coba simak kasus Miranda Gultom, apa ada ekspose besar-besaran mengenai gaya hidupnya dan jaringannya.  Coba lihat kasus BLBI, apa ada yang mempersoalkan dan memuat terus-terusan di media mereka tentang profil para perampok BLBI tersebut. Coba perhatikan, kalau ada dari kalangan Islam yang terperosok kasus hukum, maka langsung disebut sebagai ustad fulan, tapi kalau ada tokoh agama lain yang terlibat kasus hukum, disebut si fulan saja tanpa embel-embel keagamaannya. Begitu juga dalam kasus korupsi, yang diekspose adalah orang-orang yang KTPnya Islam, namun terhadap kasus yang melibatkan orang-orang kafir, hanya sekali saja diberitakan, padahal BLBI, Century, Narkoba, dan berbagai kasus asusila lainnya banyak juga yang pelakunya golongan kafir atau munafik. Tapi sekali lagi tak ada ekspose seperti drama seri tv. Saran saya, media-media Islam harus lebih banyak melakukan ekspose kasus-kasus yang pelakunya golongan kafir dan munafik, dengan membelejeti latar belakang mereka, gaya hidup mereka dan jaringan mereka, yah lebih kurang seperti tv-tv kalau memberitakan kasus “terorisme”. Nah disini peran media-media Islam untuk berperang melawan media-media sekuler itu, jadi harus meningkatkan keterampilan investigasi dan riset serta punya data base.

Tokoh-tokoh Pro Islam juga diserang, Yusril diserang ketika mengajukan judicial review Undang-undang Pemilihan Presiden. Anis Matta diserang dengan isu poligami, Suryadharma Ali dengan isu Korupsi Dana Haji, MS Kaban diserang terkait kasus Radikom, Mendagri Gamawan Fauzi diserang dengan isu intoleransi Ormas. Kasus-kasus semua ini seolah kurang atau bahkan tak ada respons dari kelompok Islam. Menurut Anda..?

Saat ini kan era perang informasi, maka sebagian medan perang itu ada di wilayah perang informasi ini. Saya menyarankan kepada para tokoh-tokoh Islam agar memiliki kemampuan untuk melakukan perang informasi dengan panggung sendiri, yaitu kendali penuh atas informasi yang disebarkan, jangan sampai dipelintir oleh media sekuler liberal ini. Sebagai contoh, FPI itu sudah berulang kali jadi korban fitnah media, dan akhirnya kita adukan ke dewan pers, dan hasilnya dinyatakan duastasiun tv melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik, tapi lihatlah kenyataannya, dari dua stasiun tv tersebut hanya satu yang memberikan kesempatan hak jawab dan itupun jam tayangnya tak jelas, atau jam tayang yang sudah nggak ada penontonnya lagi. Hehehehe... begitu cara kerja mereka...

Pada sisi lain, kalau mengamati kiprah partai Islam selama ini, seolah hampir tak ada bedanya dengan partai nasionalis-sekuler. Partai-partai Islam kurang mampu mewarnai perpolitikan nasional dengan nilai-nilai Islam. Tanggapan Anda..?

 Ini yang saya sebut diawal tadi, saudara-saudara kita yang berada di medan politik ini, tidak lagi memperdulikan akidah dan syariat serta manhaj dalam perjuangannya, malah ikut arus demi meraih simpati dan mencari ridho manusia.

Kelemahan partai Islam terutama soal ‘ashobiyah’, nafsi-nafsi dan susah sekali menggalang persatuan. Apa komentar Anda..?

Itulah ujian dunia bagi umat Islam. tinggal kita lihat siapa yang lulus dari ujian tersebut. Kalau saya mengibaratkan sebagai seleksi, Allah memiliki cara untuk melakukan seleksi kepada hambanya, tinggal kita sebagai manusia ini saja menghadapinya. Bagi yang nggak lulus seleksi Allah, maka perjuangannya menjadi ashobiyah, riya, pamrih dan sekedar ‘jaim’ alias ‘jaga image’ di mata manusia dan popularitas.

Kelompok sekuler-liberal bersama dengan kelompok non-Muslim dan Hoakiau (Cina perantauan) gencar sekali merancang strategi merebut RI-1/2, terutama mengusung Jokowi maju sebagai Capres, bahkan telah membentuk jaringan sosial media yang luar biasa.  Jokowi mau dijadikan Presiden Boneka oleh kelompok mereka..?

Salah satu strategi kunci dalam menjaga status quo saat ini, artinya status quo, adalah posisi kemapanan ekonomi dan politik golongan kafir dan munafiq adalah dengan menjadikan boneka-boneka mereka sebagai pimpinan formal kenegaraan, agar mudah mengendalikannya. Dan cara melahirkan boneka-boneka yang berkuasa ini mereka lakukan dengan cara kontes semacam idol-idol yang marak di berbagai tv, hanya saja bentuk dan formatnya berbeda, misalnya dengan hanya memberitakan sisi- sisi positifnya saja, dan meniadakan sisi negatifnya, seolah menjadi “tuhan” baru yang tak pernah salah. Sementara untuk lawan-lawan atau calon lawan mereka, mereka ekspose  melalui berita sisi-sisi negatifnya. Coba perhatikan soal Jokowi, bahkan dalam sebuah  acara peluncuran buku, Jokowi yang hanya berkukuruyuk mengikuti permintaan penyanyi dalam acara tersebut diberitakan seolah sebuah kehebatan, padahal ketika diminta pidato, Jokowi hanya memberikan pernyataan, “saya tadi sudah berkokok paling keras, saya kira cukup”, itu dianggap sebagai sebuah kehebatan dari Jokowi. Aneh media kita ini. Bahkan sakit menurut saya masyarakat kita ini dihantam oleh liberalisme ini.

Kader-kader Islam ideologis terkesan menghindari masuk/terjun dalam kancah politik. Tak mau bergabung dengan partai Islam, dan  bahkan cenderung memilih jalan dakwah saja. Mengapa bisa demikian..?

Ada banyak pertimbangan menurut saya, salah satu mungkin disebabkan oleh kebijakan partai Islam dan manuver dari partai Islam yang zig-zag tak karu karuan itu. Jadi membuat kader-kader ideologis malah enggan. Ada juga karena alasan akidah, ada diantara ikhwan-ikhwan ideologis yang melihat bahwa sistem yang digunakan bertentangan dengan akidah Islam, ada juga yang berpendapat dari segi faktual, belum pernah ada partai Islam di dunia ini yang sukses memperjuangkan syariat Islam dan sistem Islam sebagai hukum dan sistem Islam yang berlaku sebagai sistem yang eksis. Ikhwan-ikhwan ini melihat fakta di Al jazair, Tunisia, Palestina, dan Mesir. Jadi kita hormati perbedaan pendapat ini.

Untuk masa-masa lima tahun mendatang ini,  menurut Anda, apa perjuangan Islam di Indonesia melalui jalur politik cukup efektif dan signifikan..?

Medan politik itu bukan segalanya dan bukan satu-satunya, politik itu hanya salah satu jalan dalam menegakkan agama Allah. Jadi kalau kita menggunakan model kuadran analisi SWOT, maka saat ini melalui politik umat Islam berada di posisi, kekuatan lemah, peluang kecil, jadi dengan keterbatasan ini, medan politik hanya sekedar untuk mencegah kerusakan atau kehancuran yang lebih besar saja, atau defensif sifatnya.

H. Munarman, SH
Direktur An Nashr Institute