Front Pembela Islam (FPI) menilai putusan Muktamar Muhammadiyah ke-47
tentang imbauan tidak mudah mengkafirkan orang masih terlalu umum. Dewan Syuro
FPI Habib Muchsin Alatas meminta agar Muhammadiyah memperjelas batasan
tersebut agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memaknai Islam.
"Dalam
agama manapun, Islam ataupun non Islam, ada yang namanya perbedaan dan
penyimpangan. Kalau penyimpangan, kami enggak bisa toleransi. Itu tetap
kafir," kata Habib Muchsin Alatas saat menjawab pertanyaan wartawan, Sabtu (8/8).
Habib Muchsin Alatas mengatakan penyimpangan berarti umat atau kelompok tersebut
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Prinsip
dasar Islam tersebut, katanya, mengakui satu tuhan Allah SWT, Al Qur'an
sebagai kitab suci serta membaca dua syahadat.
"Kalau prinsipnya
sama tetapi pelaksanaan teknis berbeda, seperti yang dilakukan
Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama, itu baru benar perbedaan. Kami
toleransi perbedaan," ujar Habib Muchsin Alatas menegaskan.
Habib Muchsin Alatas mencontohkan
dalam Muhammadiyah, misalnya, terdapat penggunaan azan salat satu kali.
Sementara, NU menggunakan azan dua kali. "Secara prinsip tidak masalah.
Yang boleh dikafirkan hanya bila keluar dari tindakan prinsip Islam," jelasnya.
Lalu ketika ditanya mengenai imbauan untuk tidak
mengajarkan kebencian, Habib Muchsin Alatas menegaskan, pihaknya tidak menyebarkan
kebencian kepada orang per orang.
"Namun, itu ajarannya yang
perlu kami luruskan. Ada upaya dakwah dan dialog terbuka. Yang jadi
masalah kalau aparat hukum cuek membiarkan kelompok yang melanggar
hukum. Makanya terjadi kisruh," kata Habib Muchsin Alatas
Sementara itu,
mengenai konflik berkepanjangan Sunni dan Syiah di Indonesia, Habib Muchsin Alatas
menjelaskan pihaknya melakukan kajian mendalam tentang itu. Menurutnya,
aliran Syiah sendiri terdiri atas beberapa kelompok. Namun, pihaknya
menoleransi Syiah moderat.
"Mereka tidak jauh berbeda dengan As Sunnah. Itu tidak ada masalah. Mereka bukan kafir," kata Habib Muchsin Alatas.
Sebelumnya,
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengatakan lembaganya
memutuskan dalam Muktamar ke-47 untuk menjauhi kecenderungan takfiri
atau mengkafirkan pihak lain. Muhammadiyah ingin membangun budaya
toleransi yang menjauhkan kebencian.
"Hal ini menjadi perhatian
dari Muhammadiyah bahwa dalam kehidupan umat Muslim di Indonesia ada
kecenderungan mengkafirkan pihak lain. Tentu ini tidak positif dan
membawa terjadinya konflik internal yang tajam," kata Din, yang juga
Presiden Moderator Asian Conference of Religions for Peace (ACRP),
kepada media, Sabtu (8/8).