Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR RI M Arwani Thomafi menyatakan tidak ada yang salah dari imbauan dan surat edaran Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi kepada
pemerintah daerah untuk menggandeng dan bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan, termasuk Front Pembela Islam (FPI), guna meningkatkan pembangunan.

Ia mengatakan, terkait pembangunan daerah, semua stakeholder terutama kalangan sipil mesti dilibatkan untuk bersama-sama memberikan kontribusi nyatanya demi kemajuan daerah.

"Pemerintah mengajak semua pihak untuk kerja sama dalam pembangunan, yang salah mana?
Membangun daerah itu harus dilakukan oleh semua pihak, termasuk FPI. Mari bersama-sama memberikan kontribusi nyata untuk pembangunan daerah," ujar Arwani.

Ketua DPP PPP ini juga menyatakan, imbauan itu menjadi salah dan tidak tepat bila Mendagri meminta Pemda menggandeng kerja sama dengan Ormas untuk merusak daerah atau membangun daerah dengan cara kekerasan.

"Kontroversi itu kalau perusakan daerah. Itu yang tidak boleh. Pembangunan dengan kekerasan
tidak boleh dilakukan, baik oleh FPI atau ormas lain atau bahkan aparat pemerintah," katanya.

PPP : FPI Aset Bangsa Dan Bubarkan Ahmadiyah

Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Hasrul Azwar menegaskan bahwa fraksinya meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk membubarkan Ahmadiyah sebagai organisasi maupun sebagai aliran. Ia mengatakan Jamaah Ahmadiyah Indonesia telah melanggar UU No 1/ PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

“Ahmadiyah telah melanggar Pasal 1 dan Pasal 2 UU Penodaan Agama,” ujar Hasrul dalam konferensi pers di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (18/2).

Pasal 1 berbunyi “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan
dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu”.

Anggota Komisi III dari PPP Ahmad Yani menambahkan proses pembubaran Ahmadiyah,
berdasarkan peraturan perundang- undangan, tak memerlukan putusan pengadilan atau pun fatwa dari pengadilan. Menurut Yani, cukup berdasarkan tindakan oleh Presiden. “Ini pembubaran aliran sesat, bukan pembubaran ormas,” tegasnya.

Pasal 2 ayat (1) menyatakan bila ada yang melanggar ketentuan Pasal 1 maka akan diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Ini bila pelanggaran dilakukan oleh seseorang.

Bila pelanggaran dilakukan oleh sebuah organisasi atau suatu aliran kepercayaan, berdasarkan Pasal 2
ayat (2), Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi atau aliran terlarang.

“Keputusan dibuat oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri,” ujar Yani menjelaskan isi pasal tersebut.

Hasrul menjelaskan berdasarkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Ahmadiyah dan Komisi VIII
DPR, Rabu-Kamis kemarin (16-17/2), telah jelas penyimpangan ajaran Ahmadiyah. “Dalam RDP kemarin, Ahmadiyah menegaskan Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi. Dan Tadzkiroh sebagai wahyu atau semacam kitab suci,” ujarnya.

Padahal, dalam rapat dengan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem), Ahmadiyah hanya mengakui Mirza sebagi pembaharu dan Tadzkiroh bukan sebagai kitab suci. “Ini sudah jelas penyimpangannya,” tambah Hasrul.

Bila Fraksi PPP tegas meminta Ahmadiyah dibubarkan, perlakuan berbeda diberikan kepada Front
Pembela Islam (FPI). “Kami tak setuju FPI dibubarkan. FPI itu aset bangsa,” ujar Hasrul. Ia bahkan meminta Pemerintah harus berkoordinasi dan melakukan pembinaan terhadap FPI.

Hasrul menegaskan bila FPI dibubarkan, Pemerintah justru tidak akan tenang. “Pemerintah tak akan tenang karena sikap FPI yang ingin membubarkan Ahmadiyah adalah aspirasi akar rumput,” ujarnya.