Oleh : Syachronny Muhammad

Menurut Habib Muhammad Rizieq Syihab (Imam Besar FPI): “Membela dan mempertahankan agama adalah melakukan upaya untuk menjaga keberlangsungan pengamalan ajaran agama secara aman dan tenang dengan menjauhkan segala bentuk kerusakan yang membahayakan kemurnian agama.” Tegas beliau dalam setiap ceramahnya dari mimbar ke mimbar dan dari panggung ke panggung.
“Pengertian tersebut mencakup upaya melawan penindasan terhadap agama, memerangi kezhaliman dan menentang kemunkaran. Hal inilah yang menjadi substansi peperangan Rasulullah SAW. Dan ini pulalah yang menjadi substansi penghancuran sarang kemaksiatan. Jadi keduanya mempunyai persamaan substansial.” Lanjutnya.

Soal hujjah al-Qur’an, Habib Rizieq mengajak kita untuk memperhatikan kisah Masjid Adh-Dhirar yang dipaparkan dalam QS At-Taubah: 107-108 :

Artinya: “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: ‘Kami tidak menghendaki selain kebaikan”. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya)’.
Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas taqwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”.

Dijelaskan dalam kitab Asbabun Nuzul, karya Imam Abul Hasan ‘Ali ibnu Ahmad Al-Wahidi An-Naisaburi Rohimahullah, Hal. 149, disebutkan bahwasanya sebab turunnya ayat tersebut bermula dari seorang tokoh pribumi Madinah, asal suku Khozroj, yang biasa dipanggil Abu Amir Ar-Rahib.

Sejak zaman Jahiliyyah, Abu Amir Ar-Rahib menjadi pengikut ta’at agama Nashrani, dan dia dicinta kaumnya serta punya kedudukan terhormat di Madinah. Namun setelah kedatangan Rasulullah SAW ke Madinah, Abu Amir Ar-Rahib merasa kehilangan pamor dan kedudukannya, akhirnya dengan penuh iri dan dengki ia berkata dengan lantang di hadapan Nabi Muhammad SAW :

Artinya: “Tidaklah aku dapatkan suatu kaum memerangimu melainkan aku pasti memerangimu bersama mereka”.

Tercatat dalam sejarah , mulai dari perang Uhud hingga Hunain, Abu Amir Ar-Rahib banyak mengambil peran di pihak musuh untuk memerangi Nabi SAW. Karenanya tidak berlebihan saat Rasulullah SAW sendiri menjulukinya dengan “Abu Amir Al-Fasiq” sebagaimana disinggung dalam kitab Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibni Abbas, hal. 166, karya Abu Thahir ibnu Ya’qub Al-Fairazabadi.

Al-Imam Ath-Thabari dalam tafsirnya menyangkut kedua ayat tadi di atas menyebutkan bahwa Abu Amir Al-Fasiq adalah aktor utama di balik Perang Ahzab. Ia memprovokasi berbagai puak dan suku Arab untuk secara bersama-sama memerangi Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dan para Muslimin yang bersamanya.

Setelah perang Hunain, Abu Amir melarikan diri ke Romawi dan meminta bantuan Kaisar Hiraclius untuk memerangi Rasulullah SAW. Dari sana mulailah Abu Amir menyurati sejumlah pengikut setianya di Madinah yang selama ini pura-pura masuk Islam (kaum munafiqin). Ia mengatur strategi agar pengikutnya mendirikan sebuah masjid tidak jauh dari Masjid Quba (masjid pertama yang dibangun Nabi SAW di pinggir kota Madinah).

Dengan kelicikannya, Saat membangun masjid tersebut kaum munafiqin menyampaikan alasan kepada Rasulullah SAW sambil bersumpah bahwasanya pembangunan masjid tersebut dimaksudkan untuk kebajikan, seperti perlindungan kaum lemah serta kemudahan ibadah di musim dingin.

Seusai pembangunan masjid mereka pun mengundang Rasulullah SAW untuk shalat bersama mereka di masjid tersebut. Karena saat itu beliau SAW dan para Sahabat RA dalam puncak persiapan keberangkatan ke Tabuk, maka Rasulullah SAW menjawab kepada mereka :


Artinya : “Kami dalam persiapan berpergian, akan tetapi jika kami kembali, Insya Allah”.

Saat Rasulullah SAW kembali dari Tabuk, menjelang kota Madinah, datanglah Jibril as membawa wahyu dari Allah SWT sebagaimana tertera di atas tadi yaitu QS At-Taubah: 107-108. Melalui wahyu inilah akhirnya Rasulullah SAW mengetahui bahwasanya masjid tersebut dimaksudkan untuk kemudharatan, kekufuran, memecah belah persaudaraan, dan sebagai tempat memata-matai gerak-gerik umat Islam, serta sekaligus untuk tempat penantian kembalinya Abu Amir membawa bala bantuan musuh Islam.

Oleh karena itulah, Rasulullah SAW mengirim sejumlah shahabatnya untuk mendatangi masjid tersebut. Beliau pun berkata kepada rombongan yang akan dikirim :

Artinya : “Berangkatlah kalian ke masjid itu, yang zholim penghuninya, lalu HANCURKAN dan BAKAR masjid tersebut”.

Tanpa basa-basi dan banyak bertanya. para Sahabat pun berangkat dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW dengan baik tanpa sedikit pun keraguan. Subhanallah..

Waww.. sebuah tempat yang bernama “MASJID”, bahkan dengan jelas Al-Qur’an pun menyebutnya sebagai “MASJID”, dihancurkan dan dibakar atas perintah Rasulullah SAW, karena telah dijadikan sebagai tempat kemunkaran.
Lalu apa yang bisa kita ambil pelajaran dari peristiwa tersebut dengan penghancuran Tempat Maksiat?
Habib Rizieq pun dengan semangat menjelaskan:

1. Tempat maksiat sebagai tempat terjadinya kemunkaran layak untuk dihancurkan dan dibakar, apa pun nama yang diberikan untuk tempat kemunkaran tersebut, baik nama yang indah berkonotasi kebajikan, apa lagi nama yang terang-terangan berkonotasi kemaksiatan

2. Bila tempat yang bernama “Masjid” saja boleh dihancurkan dan dibakar saat terbukti dijadikan sarang kemunkaran. Bagaimana dengan “Markas Pembodohan”, “Pusat Pemurtadan”, “Praktek Perdukunan”, “Pabrik Miras”, “Lokasi Pelacuran”, “Media Porno”, “Sarang Judi”, “Industri Narkotika”, dan berbagai tempat maksiat lainnya yang terbukti menjadi tempat transaksi kemunkaran ??!!


Sedang hujjah Nabawiyyah, Lagi-lagi Habib Rizieq mengajak kita menyimak “kisah nyata” tentang himmah Rasulullah SAW yang begitu kuat untuk membakar rumah kaum munafiqin yang tidak mau shalat berjama’ah bersama beliau dan Sahabat lainnya di Masjid Madinah. Dalam kitab Al-Lu’lu wal Marjan, sebuah kitab himpunan hadits-hadits muttafaqun ‘alaih, pada kitab Al-Masajid, Bab 47 Hadits ke- 382, Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : ” Demi Yang jiwaku ada di tangan-Nya, Sungguh aku ingin memerintahkan pengumpulan kayu bakar kemudian dikumpulkan kayu tersebut. Setelah itu aku perintahkan untuk dilaksanakan panggilan shalat. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami orang-orang yang shalat ( berjama’ah di masjid ). Sedangkan aku akan mendatangi orang-orang ( yang tidak shalat berjama’ah ), maka aku akan membakar rumah mereka ”.

Sekali pun hujjah ini hanya merupakan sunnah hammiyyah, yang baru berupa keinginan dan belum terwujud dalam bentuk tindakan, namun setidaknya menjadi petunjuk akan ketegasan sikap Nabi SAW.

Dan simak pula apa yang diriwayatkan Al-Imâm At-Tirmidzi dalam Jâmi’ nya, kitab Al-Buyû’, Hadits ke - 1214, yang bersumber dari Abu Tholhah ra, saat mana beliau memberitahukan Rasulullah SAW bahwa dirinya sebelum masuk Islam melakukan jual beli khomer untuk menghidupi anak-anak yatim di rumahnya, dan saat beliau masuk Islam masih banyak menyimpan khomer, maka beliau meminta izin Nabi SAW untuk membuat cuka dari khomer yang masih ada, lalu Rasulullah SAW menolak permintaannya dan bersabda kepadanya :

Artinya : ” Tumpahkan Khomernya dan pecahkan Tongnya ”.

Kisah ini diceritakan pula oleh Al-Imâm Abu Bakar ibnu Muhammad Al-Husaini dalam kitabnya, Kifâyatul Akhyâr, Juz I halaman 73.

Jangan lupa, simak pula tentang peristiwa penghancuran berhala paska Fathu Makkah. DR. Muhammad Al-Habsy dalam kitab Sîroh Rosûlillah SAW, halaman 264, menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menghancurkan 360 berhala di sekitar Ka’bah dengan tangannya sendiri, dan beliau hancurkan pula berhala ” Hubal ” yang ada di dalam Ka’bah.

Kemudian beliau SAW mengutus Khâlid ibnu Al-Walîd untuk menghancurkan berhala ” Al-‘Uzza ”, dan mengirim ‘Amru ibnu Al-‘Âsh untuk menghancurkan berhala ” Suwwâ’ ”, serta menugaskan Sa’ad ibnu Zaid Al-Asyhali untuk menghancurkan berhala ” Munât ”.

Bahkan penghancuran berhala merupakan perjuangan para Nabi. Lihatlah, bagaimana Ibrahim as dengan gagah berani menghancurkan ratusan berhala yang disembah kaumnya.

Sungguh pun demikian rupa yang dilakukan para Nabi, namun Allah SWT tidak pernah mengecamnya, apalagi menyebut mereka ”Radikal” atau menyatakan tindakan mereka ”Anarkis”. Bahkan membenarkan dan memujinya.

Semua ini menjadi hujjah bagi aksi penghancuran sarana ma’siat dan kemunkaran, manakala aksi tersebut menjadi pilihan akhir yang tak bisa tidak harus dilaksanakan.

2. Bisa jadi kasus Masjid Adh-Dhirâr, himmah Rasulullah SAW untuk membakar rumah mereka yang tidak mendirikan shalat, peristiwa penghancuran berhala, dan berbagai peperangan yang terjadi di zaman Nabi SAW, sifatnya khusus dan spesial, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah untuk yang lainnya ?

Kaidah menyatakan :

Artinya : ” Pengambilan dalil / hukum dengan keumuman lafazh bukan dengan kekhususan sebab ”.

DR. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya, Ushûl Al-Fiqhi Al-Islâmi, Juz I Hal. 273, dengan menukil dari kitab Al-Mustashfa, Irsyâdul Fuhûl dan Hâsyiah Al-Bannâni, menerangkan tentang maksud kaidah tersebut di atas sebagai berikut :

Artinya : ” Mayoritas Ahli Ushul Fiqih mengatakan : ” Dalil umum yang datang dengan sebab khusus berupa soal penanya atau terjadinya peristiwa atau selainnya maka tetap berlaku keumumannya, melihat zhâhir lafazh, dan tidak terpaku dengan sebab ”. Inilah maksud ucapan mereka : ” Pengambilan dalil / hukum dengan keumuman lafazh bukan dengan kekhususan sebab ”. Dan dalil pada penetapan umum, bahwasanya hujjah berada dalam lafazh Pembuat Syari’at bukan dalam soal dan sebab ”.

Kaidah lain menyatakan :

Artinya : ” Yang kuat adalah hukum umum hingga ada dalil yang mengkhususkannya ”

Nah, melihat dari substansi semua kejadian tersebut di atas terfokus kepada sikap tegas terhadap kemunkaran, dan ini bersifat umum, karena tidak ada keterangan dalil yang menyatakan bahwa itu hanya khusus untuk objek tersebut dan terbatas pada waktu itu saja. Keumuman dalil mencakup kejadian apa pun dan di mana pun serta kapan pun, yang memiliki substansi sama. Sifat umum ini akan tetap berlaku selama tidak ada dalil lain yang mengkhususkannya.

3. Bagaimana kedudukan hukum amar ma’ruf nahi munkar ? Dan apa pula hukum menghancurkan atau membakar Tempat Ma’siat ?

Amar ma’ruf nahi munkar hukumnya adalah fardhu kifayah, artinya bila sebagian umat sudah menegakkannya dengan jumlah dan kekuatan yang cukup memadai untuk mengatasi kemunkaran yang ada, maka gugurlah kewajiban dari yang lainnya.

Namun jika jumlah dan kekuatan para penegak amar ma’ruf nahi munkar tidak memadai, maka kewajiban belum gugur dari yang lainnya. Bahkan jika itu menyebabkan kemunkaran tak dapat dilenyapkan, maka berdosalah mereka yang tidak ikut menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Bahkan sebagian Ulama menyatakan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu ‘ain, artinya wajib atas tiap-tiap individu muslim sesuai dengan kemampuannya. Hal ini dibahas dengan panjang lebar oleh Asy-Syeikh Asy-Syahid ‘Abdul Qâdir ‘Audah rhm dalam kitabnya At-Tasyri Al-Jinâ-i Al-Islâmi, Juz I Bab 3 Pasal 2, halaman 489 – 513.

Al-Imâm As-Sayyid Abdurrahmân ibnu Muhammad Al-Masyhûr Ba ‘Alawi Al-Husaini rhm, Mufti Hadhramaut, dalam kitabnya, Bughyatul Mustarsyidîn, hal. 251, menyebutkan bahwa Ulama berbeda pendapat tentang hukum meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar : Al-Imâm Ahmad rhm menghukumkan kufur, sedang para Imam dalam madzhab Asy-Syâfi’i rhm menghukumkan dosa besar. Selanjutnya beliau rhm menyatakan :

Artinya : ” Amar ma’ruf nahi munkar itu adalah poros kutub agama, barangsiapa yang menegakkannya dari muslim mana saja, maka wajib atas yang lainnya untuk menolong dan membela mereka. Tidak boleh ( haram ) bagi siapa pun untuk duduk berdiam diri dan pura-pura lupa dari mereka yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, sekali pun ia tahu / yakin bahwa gerakan mereka itu tidak akan berhasil ”.

Ada pun penghancuran atau pembakaran Tempat Ma’siat menyangkut salah satu tekhnis dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar, yang kedudukan hukumnya kembali kepada hukum fiqih yang lima, yaitu : wâjib, mandûb, mubâh, makrûh dan harâm.

Al-Imâm Syarfuddîn Yahyâ ibn Badriddïn Mûsâ Al-‘Imrîthî rhm dalam nazhomnya, Al-Waraqât, menyatakan :
Artinya : ” Dan hukum adalah Wajib dan Mandub, Mubah dan Makruh beserta Haram ”

Penentuan hukum itu sendiri sangat bergantung kepada tingkat manfaat dan mudharat yang ditimbulkan, dengan tidak terlepas dari pengaruh situasi dan kondisi yang ada.

Menyangkut hukum penghancuran / pembakaran tempat ma’siat, maka sebagai gambaran kemungkinan hukum yang muncul, yaitu :

1. Wajib jika kemunkarannya tidak bisa dihilangkan kecuali dengan dihancurkan / dibakar, sedang mudharat penghancuran / pembakaran hampir tidak ada sama sekali.

2. Mandub jika manfaat penghancuran / pembakaran jauh lebih besar dari pada mudharatnya, dan kemudharatan tersebut mudah dihindarkan.

3. Mubah jika manfaat penghancuran / pembakaran jauh lebih besar dari pada mudharatnya, dan kemudharatan tersebut sulit dihindarkan.

4. Makruh jika manfaat dan mudharatnya seimbang.

5. Haram jika mengantarkan kepada mudharat yang lebih besar.

Jadi untuk menentukan hukumnya harus dilakukan pengkajian yang mendalam dengan ijtihâd yang ekstra hati-hati, dan harus dilakukan oleh ahlinya.

4. Sungguh pun demikian, tetap saja aksi bakar membakar memberi ”kesan” yang tidak baik terhadap Islam ? Seharusnya dipikirkan cara lain tanpa harus ada aksi bakar membakar. Lagipula, sehebat apa pun perlawanan kita kepada kema’siatan, toh kema’siatan itu akan tetap ada hingga Hari Qiyamat, jadi kenapa harus repot-repot memerangi kema’siatan ?

Ya. Terlepas dari hukum fiqih yang lima, maka dengan pertimbangan fiqhud da’wah, aksi penghancuran dan pembakaran Tempat Ma’siat harus dihindarkan sebisa mungkin. Dan kita harus berusaha mencari alternatif lain, sekali pun membutuhkan lebih banyak pengorbanan waktu, tenaga dan fikiran. Karena memang pertimbangan ” kesan ” termasuk dari pertimbangan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam perjuangan da’wahnya.

DR. Muhammad Al-Habsy, dalam kitabnya, Sîroh Rosûlillâh SAW, halaman 180 – 182, menceritakan bahwa di tahun ke – 5 Hijriyyah, seusai Perang Banî Mushtholaq, rombongan Rasulullah SAW dan para Shahabatnya istirahat di sumber air Muroysi’. Dedengkot munâfiqîn yang kala itu ikut bersama rombongan, yaitu ‘Abdullah ibnu Ubay ibnu Salûl, melakukan provokasi jâhiliyyah untuk mengadu domba antara Muhajirîn dan Anshâr. Kemudian ‘Umar ibnu Al-Khaththâb ra menghadap Rasulullah SAW untuk meminta izin membunuh sang Munâfiq, beliau SAW pun menjawab :

Artinya : ” Bagaimana hai ‘Umar, jika orang-orang mengatakan bahwa Muhammad membunuh para shahabatnya sendiri ? Tidak ! ”

As-Syeikh Fuâd ‘Abdul Bâqi menukilkan haditsnya secara lengkap dalam kitab yang menghimpun hadits-hadits muttafaqun ‘alaih, Al-Lu’lu’ wal Marjân, Juz III hal.194 hadits ke – 1.669, yang lengkapnya sebagai berikut :

Artinya : ”Dari Jâbir ibnu ‘Abdullah ra berkata : ” Saat kami dalam suatu perjalanan perang, ada terjadi seorang Muhâjir mendorong dengan keras seorang Anshâr, maka berteriaklah si Anshâr : ” Hai kaum Anshâr ( bangkitlah ) ! Si Muhâjir pun berseru : ” Hai kaum Muhâjirîn (bangkitlah) ! Rasulullah SAW mendengar semua teriakan itu, beliau pun bertanya : ” Ada apa dengan seruan jâhilyyah ini ? Para Shahabat menjawab : ” Wahai Rasulullah, seorang Muhâjir telah mendorong seorang Anshâr ”. Beliau pun bersabda : ” Tinggalkan semua itu, sesungguhnya itu perbuatan busuk ”. Kejadian tersebut terdengar oleh ‘Abdullah ibnu Ubay, ia pun berkata : ” Mereka (Muhâjirin) melakukan itu ? Maka demi Allah, apabila kita sampai di Madinah, niscaya golongan mulia (Anshâr) akan mengusir golongan hina (Muhâjirin) dari Madinah ”. ‘Umar ra berdiri menghadap Rasulullah SAW sambil berkata : ” Wahai Rasulullah, biarkan aku menebas batang leher orang munâfiq ini ”. Nabi SAW bersabda : ”Biarkan dia ! jangan sampai nanti orang mengatakan bahwa Muhammad membunuh shahabatnya sendiri ”.

Sekali pun ‘Abdullah ibnu Ubay seorang munâfiq, bahkan provokator pemecah belah umat yang layak dibunuh, namun di mata orang-orang kafir kala itu ia bagian dari kaum muslimin yang menjadi shahabat Nabi SAW, sehingga membunuhnya hanya akan melahirkan ” kesan ” bahwa Rasulullah SAW membunuh shahabatnya sendiri.

Suatu fiqhud da’wah yang luar biasa dengan tidak mengenyampingkan pertimbangan kesan dalam mengambil sikap dan keputusan.

Ada pun mengenai keberadaan kema’siatan hingga Hari Akhir tidak menjadi alasan untuk meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Justru seharusnya menjadi motivator yang lebih mendorong peningkatan aksi melawan kemunkaran, karena mengingat kekuatan Iblis dan keturunannya yang besar serta keuletan menggoda yang tak mengenal putus asa.

Selama Iblis dan keturunannya ada maka selama itu pula mereka akan senantiasa berupaya menyesatkan umat manusia di dunia dengan berbagai kema’siatan. Dalam Al-Qur’an surat Al-A’râf, Al-Hijr, Al-Isrâ’ dan Shâd diceritakan bahwasanya Iblis semenjak dila’nat oleh Allah SWT karena kesombongannya menolak perintah-Nya untuk sujud kepada Adam as, Iblis meminta kepada Allah SWT agar ia dan keturunannya tidak dimatikan hingga Hari Qiamat supaya punya kesempatan menggoda Adam dan anak cucunya. Dan Iblis pun bersumpah sebagaimana Allah SWT ceritakan dalam Q.S.38. Shâd ayat 82 – 83 :

Artinya : ”( Iblis ) berkata : ” Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlish di antara mereka ”.

Namun, walau permintaan Iblis untuk hidup hingga Qiamat diperkenankan, dan ia bersumpah untuk selalu berupaya menyesatkan manusia, yang oleh karenanya kema’siatan dan kemunkaran akan selalu ada di atas muka bumi ini. Pada kenyataannya, Allah SWT tetap mengutus para Nabi dan Rasul untuk berda’wah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mencegah dan melarang segala bentuk kema’siatan dan kemunkaran.

Jadi jelas, inti nahi munkar adalah mencegah dan melarang kemunkaran diatas muka bumi, bukan menafi keberadaannya. Meniadakan ma’siat didunia secara keseluruhan adalah sesuatu yang mustahil bagi manusia.