Oleh: Muhammad Hanif Alatas
Di-Intisarikan dari beberapa materi lisan dan tulisan yang 
disampaikan Imam Besar FPI al-Habib Muhammad Rizieq Syihab
Dewasa ini, seringkali kita mendengar sekelompok orang yang mencoba membenturkan antara perjuangan Umat Islam satu dengan lainnya. Tidak jarang kita mendengar si-lembut menghujat si-tegas, si-tegas mencemooh si-lembut, dsb. Di tengah derasnya serangan kepada Umat Islam dalam berbagai sektor, tentu hilangnya sinergi di tengah Umat Islam dengan beragam pola perjuangannya menyebabkan keadaan umat semakin terpuruk. Mungkin hal tersebut timbul dari ketidakfahaman sebagian kalangan akan keberagaman medan juang dalam Islam. Beranjak dari hal tersebut, dalam artikel ini kami hendak memaparkan klasifikasi medan juang Islam menjadi dakwah, hisbah dan jihad, serta kaitan erat antara ketiganya. Selamat membaca!  
DAKWAH
ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْـمَوْعِظَةِ الْـحَسَنَةِ وَجَادِلْـهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْـمُهْتَدِيْنَ

‘’Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk.’’ (QS. An-Nahl:125)
Dalam ayat ini Allah SWT memberikan tuntunan kepada Nabi SAW agar berdakwah kepada Ahlul Kitab dengan hikmah, nasihat yang baik, dan berdialog dengan cara yang terbaik.  Jika dakwah dengan Non-Islam harus dilakukan dengan sedemikan baik, bagaimana dengan Umat Islam?
Dalam ayat lain Allah SWT mengingatkan Nabi saw, agar tidak bersifat keras, kasar hati dan bengis dalam berdakwah karena hal tersebut akan menyebabkan orang-orang disekitrnya akan menghindar, Allah swt berfirman :
... وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ...

‘’Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu …’’ (QS. Ali Imron:159)  
Dari dua ayat di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dakwah yang berarti “mengajak” harus dilakukan dengan lembut, santun, ramah, arif, bijaksana, juga  dengan  memberikan suri tauladan yang baik dan  cara yang simpatik agar menarik.
Dalam dakwah seorang da’i tidak boleh marah-marah, kasar, keras dan bengis. Karena dakwah merupakan ajakan yang dituntut untuk menarik agar menjadi simpatik. Jika dakwah tercampur dengan emosi, kekerasan dan kebengisan, maka simpatik tersebut akan hilang sehingga maksud dan tujuan dari dakwah sulit tercapai.

HISBAH
“Al-Hisbah” merupakan sebuah istilah dalam disiplin Ilmu Fiqih. Yang dimaksud dengan hisbah adalah al-Amru bil ma’ruf wannahyu ‘anil munkar. Secara etimologi, kata amar ma’ruf diambil dari kata “amaro” yang berarti memerintah atau menyuruh, sedangkan nahi munkar diambil dari kata “naha” yang berarti melarang. Perintah dan larangan harus bersifat tegas, sebagai contoh: seorang  panglima tatkala memberikan perintah atau larangan kepada prajuritnya haruslah tegas. Tanpa ketegasan, perintah dan larangan tersebut tak akan dipatuhi oleh prajuritnya. Oleh karena itu, hisbah haruslah tegas.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam at-Tirmidzi dan al-Imam Abu Dawud RadhiAllahu ‘anhuma, para Sahabat RA menggambarkan  tatkala Nabi SAW  berpidato di hadapan Umatnya, saat menjelaskan kepada mereka perkara haq dan bathil, halal  dan harom, maksiat dan ketaatan, pada saat itu wajah Nabi SAW merah, bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa kedua mata Nabi SAW juga memerah, kemudian suara Nabi SAW  lantang dan tinggi, kemarahan Nabi SAW luar biasa, seakan-akan beliau adalah komandan pasukan tempur. Inilah amar ma’aruf yang ditunjukkan oleh Sayyiduna Muhammad SAW.
Adapun gambaran nahi munkar yang diakukan Nabi SAW, dapat kita lihat pada kisah Masjid Dhiror yang dipaparkan  dalam Q.S. 9. At-Taubah : 107 -108, yang artinya :
“Dan (diantara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan/Dhiror (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rosul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah “kami tidak menghendaki selain kebaikan “.  Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta.’’
‘’Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas taqwa (Masjid Quba) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu solat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”.
Al-Imam Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya yang populer menceritakan kisah tersebut dengan panjang lebar. Intisarinya adalah, ketika Nabi SAW mengetahui bahwa masjid tersebut dimaksudkan untuk kemudharatan, kekufuran, memecah belah persaudaraan, dan sebagai tempat untuk memata-matai gerak-gerik umat, serta sekaligus untuk tempat penantian kembalinya Abu ‘Amir al-Fasiq dari Romawi dengan membawa bala bantuan untuk musuh Islam, maka Rasulullah SAW mengirim sejumlah sahabat untuk mendatangi masjid tersebut seraya berkata kepada mereka :
"انْطَلِقُوْا إِلَى هذَا الْمَسْجِدِ الظَّالِمِ أَهْلُهُ، فَاهْدِمُوْهُ وَاحْرِقُوْهُ "

“Berangkatlah kalian ke masjid itu, yang dzholim penghuninya, lalu hancurkan dan bakar masjid tersebut!“
Para sahabat pun berangkat, dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW dengan baik tanpa sedikitpun keraguan.
Menarik untuk dikaji, sebuah  tempat yang bernama ‘’masjid’’, bahkan Al-Quran juga menyebutkan sebagai ‘’masjid’’, dihancurkan dan dibakar atas perintah Rasulullaah SAW, karena telah dijadikan sebagai tempat kemungkaran.
Dari peristiwa tersebut di atas kita bisa mengambil dua pelajaran penting yang terkait dengan masalah penghancuran tempat ma’siat:
Tempat ma’siat sebagai tempat terjadinya kemungkaran layak untuk dihancurkan dan dibakar, apa pun nama yang diberikan untuk tempat kemungkaran tersebut, baik nama yang indah berkonotasi kebajikan, apa lagi nama yang terang-terangan berkonotasi kema’siatan.
Bila tempat yang bernama ‘’masjid’’ saja boleh dihancurkan dan dibakar saat terbukti dijadikan sarang kemungkaran, bagaimana dengan ‘’Markas Pembodohan’’, ‘’Pusat Pemurtadan’’, ‘’Praktek Perdukunan’’, ‘’Media Porno’’, ‘’Sarang Judi’’, ‘’Industri Ecstasy’’, dan berbagai tempat lainnya yang terbukti menjadi transaksi kemungkaan??!!
Dalam sebuah hadits yang disepakati kesahihannya oleh al-Imam Al-Bukhori dan al-Imam Muslim, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah punya keinginan kuat untuk membakar rumah kaum munafiqin yang tidak mau shalat berjama’ah bersama beliau dan sahabat lainnya di Masjid Madinah. Dr. Muhammad al-Habsy juga menyebutkan dalam kitabnya Siroh Rosulillah SAW bahwa Rosul SAW menghancurkan 360 berhala di sekitar Ka’bah dengan tangannya sendiri, dan beliau hancurkan pula berhala “Hubal “ yang ada di dalam Ka’bah.
Demikian, gambaran singkat amar ma’ruf dan nahi munkar yang dilakukan oleh Rosulullah SAW, kepribadian Nabi SAW sangat santun, ramah dan lembut, namun jika berkaitan dengan penegakkan syariat Allah, halal dan harom, juga haq dan bathil,maka beliau lantang dan tegas, serta tidak kenal kompromi.
JIHAD
Dalam konteks umum, kata “al-Jihad” dapat diartikan sebagai badzlul juhd fi tho’athillaah; mengerahkan segala kemampuan dalam ketaatan kepada Allah. Melalui prespektif ini, maka sholat, puasa, zakat, menuntut ilmu syariat dan beragam keta’atan lainnya dapat dikategorikan sebagai al-Jihad. Namun, secara terminologi fiqih, yang dimaksud dengan “al-Jihad” adalah berperang di jalan Allah untuk menegakkan kalimatillah.
Perang dalam pengertian ini, bukan lembut dan tegas, akan tetapi sangat keras. Peperangan tidak lepas dari pertumpahan darah, pengorbanan nyawa, pemusnahan harta benda, dan peperangan memang sebuah tindak kekerasan yang luar biasa.
Banyak jendral saat ini, hanya mengendalikan perang dari dalam kemah, serta bergegas lari dengan helikopter tatkala pasukannya dikalahkan.Namun Sayyiduna Muhamad SAW bukan tipikal pemimpin yang mengendalikan perang dari belakang meja dan bersembunyi dalam kemah, akan tetapi beliau sendiri yang memimpin perang, berdiri tegak dibarisan terdepan sebagai panglima tempur.
Dalam Perang Uhud, tatkala Nabi SAW terjepit diantara pasukan yang dipimpin oleh Ikrimah bin Abi Jahal dan pasukan yang dipimpin oleh Kholid bin Walid, Nabi SAW terjatuh dari kudanya, beliau dihantam oleh musuh hingga gigi geraham beliau patah, kening beliau pecah, pipi beliau tertusuk benda tajam, bahkan pundak beliau terkelupas karena hantaman rantai dari musuh, sampai para Sahabat menyangka bahwa Nabi SAW telah wafat. Dalam keadaan yang sudah genting, saat Nabi terjatuh, kaum kuffar mengarahkan anak panah dan tombak mereka kepada Nabi SAW, pada saat itu para Sahabat RA yang ada di sekitar Nabi SAW, dengan cepat menutup Nabi SAW dengan badan mereka, pundak mereka dijadikan perisai yang melindungi Nabi SAW dari anak panah dan tombak, SubhanAllah.
Tercatat dalam sejarah Islam, bahwa tidak kurang dari 29 peperangan terjadi di zaman Nabi SAW antara kaum muslimin melawan kaum kafirin, mulai dari Perang Abwa’ pada tahun ke-2 Hijriyyah jauh sebelum perang badar, hingga Perang Tabuk pada tahun ke-9 Hijriyyah. Dari 29 perang tersebut hanya 5 peristiwa yang betul-betul terjadi kecambuk perang yang dahsyat, yaitu Perang Badar, Uhud, Khaibar, Mu’tah dan Hunain. 24 perang lainnya, hampir tidak ada pertumpahan darah besar selain Perang Bani Quraizhoh yang diakhiri dengan pelaksanaan hukuman mati atas sejumlah pengkhianat Yahudi.
Alhasil, medan jihad merupakan medan yang keras, jikalau dalam konteks dakwah Allah SWT melarang  Nabi-Nya SAW untuk bersifat keras, kasar hati dan bengis dalam berdakwah, tidak demikian dengan jihad. Justru dalam konteks jihad, Allah SWT memerintah Nabi SAW untuk bersikap “keras”  terhadap kaum kafir sebagai lawan perang, Allah SWT berfirman dalam Q.S At-Taubah Ayat 73:
يَأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْـمُنَافِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْـمَصِيْرُ
‘’Hai Nabi, berjihadlah (perangilah) orang-orang kafir dan orang-orang munafiq itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah jahannam. Dan itu tempat kembali yang seburuk-buruknya.’’

KESIMPULAN DAN RENUNGAN
Dalam berjuang, ada waktunya kita harus lembut, ada saatnya kita harus tegas dan ada masanya kita harus keras. Dakwah yang merupakan “mengajak” harus lembut, santun, arif, bijak, serta simpatik dan menarik. Adapun hisbah, karena bersifat instruktif dan merupakan perubahan (taghyirul munkar) maka haruslah tegas. Sedangkan jihad, yang tidak lepas dari pertumpahan darah, pengorbanan nyawa dan pemusnahan harta, sudah tentu medan jihad merupakan medan yang keras. Semuanya didasari oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan ketiganya dilakukan secara sempurna oleh Sayyiduna Muhammad SAW.
Ar-Rasul SAW adalah al-Insan al-Kamil; Manusia sempurna. Beliau mampu berdakwah dengan lembut, berhisbah dengan tegas, dan berjihad dengan keras. Al-Mushthofa SAW adalah panutan dalam dakwah, hisbah dan jihad. Beliau SAW adalah panutan dalam segala medan juang. Namun sebagai manusia biasa, kita tidaklah mampu mengemban tugas seperti Nabi SAW. Diantara kita ada yang pandai dalam berdakwah namun tidak bisa berhisbah dan jihad. Diantara kita pula ada yang pandai berhisbah namun tidak bisa berdakwah dan jihad. Diantara kita-pun ada yang lihai berlaga di medan perang namun tidak punya kelihaian berdakwah dan behisbah.
Oleh karena itu, Umat Islam harus melihat potensi yang dimiliki, sesuai dengan keahliannya masing-masing. Mereka yang ahli dalam bidang dakwah, hendaknya berdakwah dengan lembut. Adapun yang memiliki kemampuan berhisbah, berhisbah-lah dengan tegas. Sedangkan yang ahli dalam berjihad, berjihadlah dengan keras.
Dakwah, hisbah dan jihad jika diibaratkan sebagai pekerjan petani, maka dakwah bagaikan menanam padi, sedangkan hisbah dan jihad merupakan pemberantasan hama. Jika seluruh ulama, habaib dan kyai setiap saat hanya sibuk berdakwah tanpa menegakkan hisbah dan jihad, maka ibarat petani yang sibuk menanam padi, namun membiarkan hama berkembangbiak tanpa diberantas. Begitupula sebaliknya, jika semua habaib, ulama dan kyai hanya disibukkan dengan penegakkan hisbah dan jihad tanpa melakukan dakwah, maka ibarat petani yang sibuk memberantas hama tetapi tidak menanam padi. Menanam padi dan memberantas hama haruslah seimbang. Terlebih dakwah, hisbah dan jihad, tiga medan juang Islam wajib kompak dan sinergi, untuk menuju ‘Izzul Islam wal Muslimin.
SYAIR MEDAN JUANG ISLAM
Karya :  al-Habib Muhammad Rizieq Syihab
أَسْتَغْفِرُ الله رَبِيَّ الشَّكُوْر         أَسْتَغْفِرُ الله رَبِيَّ الصَّبُوْر        2x
أَسْتَغْفِرُ الله رَبِيَّ الْغَفُوْر          أَسْتَغْفِرُ الله مِنْ كُلِّ غُرُوْر       2x
Medan juang Islam adalah tiga
Harus diingat jangan dilupa
2x
Pertama da’wah kedua hisbah
Ketiga jihad fii sabilillaah
2x
Da’wah haruslah bijak dan lugas
Hisbah mestilah cerdas dan tegas
2x
Jihad medannya berani dan keras
Berkorban hingga terakhir nafas
2x
Semua medan wajib diisi
Oleh yang pantas dan memang ahli
2x
Semua medan wajib sinergi
Jangan merasa benar sendiri
2x
Mulailah dari diri sendiri
Jangan melanggar syari’at Nabi
2x
Siapa berjuang ikhlaskan diri
Niscaya dapat ridha Ilahi
2x

*Penulis Adalah Mahasiswa Faculty of Syare’a n Law al-Ahgaff University Yemen dan Waketum DPP FMI (Front Mahasiswa Islam)