Bismillaah wal Hamdulillaah ...
Wa Laa Haula Wa Laa Quwwata illaa Billaah ...
Sampurasun adalah ucapan selamat masyarakat Sunda yang sangat terkenal dan mengandung unsur penghormatan kepada sesama.
Sampurasun sebagai ADAT Sunda yang punya makna sangat baik dan amat
bagus, serta boleh digunakan untuk menyapa sebagai penghormatan, selama
tidak dijadikan sebagai pengganti SYARIAT "Assalaamu 'Alaikum".
Jadi, jangan adu domba ADAT dan SYARIAT, karena masing-masing ada tempat dan syarat serta cara penggunaan.
SALAM NUSANTARA
Di masyarakat Indonesia ucapan Selamat Pagi, Selamat Siang, Selamat
Sore, Selamat Petang dan Selamat Malam merupakan salam pergaulan
nasional untuk penghormatan terhadap sesama. Tentu sah-sah saja
digunakan oleh masyarakat Indonesia, sebagaimana di masyarakat Arab ada
ungkapan "Shobaahul Khoir" di pagi hari dan "Masaa-ul Khoir" di petang
hari.
Namun, ketika ada pihak yang ingin menjadikan salam
pergaulan nasional sebagai pengganti "Assalaamu 'Alaikum" di tengah umat
Islam, dengan alasan karena "Assalaamu 'Alaikum" hanya merupakan Adat
dan Tradisi Arab yang tidak ada kaitan dengan ajaran Islam, tentu jadi
persoalan yang sangat serius.
ASSALAAMU 'ALAIKUM
Salam
masyarakat Arab Jahiliyyah pada mulanya adalah "Wa Shobaahaa", atau yang
sejenisnya, lalu datang Islam mengajarkan umatnya untuk menggunakan
"Assalaamu 'Alaikum" sebagai Tahiyyatul Islam yaitu salamnya kaum
muslimin.
Sejak itu "Assalaamu 'Alaikum" adalah Salam Islam bukan
Salam Arab. Dan Salam Islam menjadi salah satu rukun Shalat yang tidak
sah Shalat tanpanya.
Nah, jika "Assalaamu 'Alaikum" mau diganti
dengan salam pergaulan nasional, lalu apakah nanti salam Shalat Shubuh
jadi Selamat Pagi, dan salam Shalat Zhuhur jadi Selamat Siang, serta
salam Shalat Ashar jadi Selamat Sore, kemudian salam Shalat Maghrib jadi
Selamat Petang, sedang salam Shalat Isya jadi Selamat Malam ???
Camkan ... !!!
BUPATI PURWAKARTA
Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, sejak memimpin Purwakarta terus
berusaha menghidupkan kembali ajaran "Sunda Wiwitan", sehingga ia
menghiasi Purwakarta dengan aneka patung pewayangan seperti patung Bima
dan Gatotkaca, bahkan ditambah dengan aneka patung Hindu Bali.
Dia pun mengaku telah melamar Nyi Loro Kidul dan mengawininya.
Selanjutnya, ia membuat Kereta Kencana yang konon katanya untuk
dikendarai sang isteri, Nyi Loro Kidul. Kereta Kencana tersebut dipajang
di Pendopo Kabupaten Purwakarta, dan diberi kemenyan serta sesajen
setiap hari, lalu dibawa keliling Purwakarta setahun sekali saat acara
Festival Budaya, dengan dalih untuk membawa keliling Nyi Loro Kidul buat
keberkahan dan keselamatan Purwakarta.
Dedi juga menganjurkan
agar siapa yang mau selamat lewat di jalan Tol Cipularang agar menyebut
nama Prabu Siliwangi. Dan beberapa tahun lalu, Dedi juga pernah
menyatakan bahwa suara seruling bambu lebih merdu daripada membaca
Al-Qur'an.
Selain itu, pohon-pohon di sepanjang jalan kota
Purwakarta diberi kain "Poleng", yaitu kain kotak-kotak hitam putih,
bukan untuk "Keindahan", tapi untuk "Keberkahan" sebagaimana adat Hindu
Bali, dan Dedi pun mulai sering memakai ikat kepala dengan kembang
seperti para pemuka adat dan agama Hindu Bali.
Dedi tidak bangga
dengan Islamnya, tapi ia bangga dengan patung, sesajen dan takhayyulnya,
yang dikemas atas nama Kearifan Lokal (Local Wisdom).
Saat
banyak Ulama dan para Da'i mulai memprotes dan mengkritik peri laku
"Syirik" Dedi, maka serta merta Dedi membuat Perbup (Peraturan Bupati)
tentang larangan ceramah provokatif yang menentang kebijakannya.
Belakangan, Dedi mulai sering meninggalkan Salam Syariat Islam
"Assalaamu 'Alaikum" dan diganti dengan Salam Adat Sunda "Sampurasun".
Dimana saja dan kapan saja, Dedi terus mengkampanyekan aneka budaya
"Syirik" nya yang dibungkus dengan nama "Adat" dan "Budaya", serta
dikemas dengan salam santun masyarakat Sunda "Sampurasun".
Bahkan
Dedi dalam salah satu bukunya yang berjudul SPIRIT BUDAYA menyebut
bahwa Islam adalah BUDAYA. Padahal, Islam adalah Aqidah, Syariat dan
Akhlaq yang bersumber dari WAHYU ALLAH SWT, sedang Budaya bersumber dari
akal pemikiran dan perilaku manusia.
Pada halaman latar
belakang buku tersebut tertulis : “Warga Baduy mengajarkan kepada kita
untuk tidak melawan alam. Dalam pemahaman saya (Dedi Mulyadi, red)
merekalah yang beragama dan yang bertuhan secara benar.”
Selanjutnya di halaman 16 tertulis : “Kebudayaan itu derajat manusia,
persis seperti agama.” Lalu pada halaman 17 : “Saya sendiri menginginkan
Sunda yang sesuai dengan wiwitan atau identitas awalnya, Sunda yang
menyerahkan diri terhadap alam yang tidak mengenal simbolisasi
penyembahan.”
Akhirnya, banyak kalangan pemuka masyarakat Islam
Purwakarta menyebutkan bahwa Dedi bukan sedang memasyarakatkan
"Sampurasun", tapi sedang merusak umat Islam Purwakarta dengan "Campur
Racun".
Tentu kita setuju, bahwasanya Dedi Mulyadi memang bukan
sedang memasyarakatkan kesantunan salam Sunda "Sampurasun", tapi dia
memang sedang merusak umat Islam Purwakarta dengan "Campur Racun", yaitu
meracuni aqidah umat dengan aneka perbuatan "Syirik".
Karenanya,
kami serukan jaga kesantunan ADAT "Sampurasun" dalam rawatan SYARIAT
"Assalaamu 'Alaikum", sehingga ADAT dan SYARIAT tetap seiring sejalan.
Ayo, selamatkan "Sampurasun", dan tolak "Campur Racun".
Hasbunallaahu wa Ni'mal Wakiil ...
Ni'mal Maulaa wa Ni'man Nashiir ...