Shodiq Ramadhan
Redpel Suara Islam Online

Musyawarah Nasional Front Pembela Islam (FPI) ke-3 di Wiswa Haji Bekasi, dilanjutkan peringatan Milad FPI ke 15 di Petamburan, Jakarta Pusat, dan pawai keliling Jakarta pada 22-25 Agustus 2013 lalu benar-benar menjadi perhatian media massa. Bukan hanya media-media Islam, tetapi juga media-media sekuler liberal yang selama ini mempunyai misi menyiarkan keburukan FPI dan mendorong pemerintah untuk membubarkannya.

Munas dan peringatan Milad FPI juga mencuri perhatian kalangan liberal melalui komentar-komentar usil mereka di berbagai jejaring sosial. Di situs jejaring sosial Twitter misalnya, sesaat setelah foto pawai FPI keliling Jakarta menyebar di berbagai media, tweetland langsung dipenuhi cibiran terhadap FPI.

Mereka mencibir Imam Besar FPI Al Habib Muhammad Rizieq Syihab dan FPI yang saat pawai dengan gagahnya berada di atas mobil Jeep Rubicon warna putih. Bukan hanya dua Rubicon, dalam pawai itu juga turut ikut sebuah mobil Hummer warna hitam. Tak tanggung-tanggung, Rubicon yang ditumpangi Habib Rizieq bernomor B 1 LPI. Asli...nomor itu bukan palsu. Liberal kebakaran jenggot (kalau punya jenggot), dari mana FPI bisa membeli mobil mewah dengan harga milyaran itu?

Belum terjawab pertanyaan kaum liberal di atas, Tempo.co pada Rabu, 28 Agustus 2013 menurunkan opini berjudul "Dua Menteri di Acara FPI".

Nyaris sama dengan pertanyaan kaum liberal yang "ngoceh" tentang mobil mewah FPI, yang belakangan diketahui ternyata milik personil anggota FPI, bukan aset resmi FPI, Tempo rupanya "iri" dengan kehadiran dua menteri pada pembukaan Munas FPI di Wisma Haji Bekasi, Kamis malam (22/8) lalu.

Tempo, sebagai corong kaum liberal, melalui opini itu menyayangkan kehadiran Menag Suryadharma Ali dan Mensos Salim Segaf Al Jufri dalam pembukaan Munas FPI. Menurut Tempo, harusnya dua menteri itu menjaga jarak dengan FPI, karena FPI dikatakan sering melakukan kekerasan.

"Kehadiran kedua menteri tersebut dalam acara musyawarah nasional FPI ke-3 dan ulang tahun FPI ke-15 pekan lalu itu menunjukkan adanya toleransi yang sangat besar dari pemerintah terhadap FPI. Hal ini juga memperkuat penilaian banyak kalangan bahwa pemerintah bersikap ambigu terhadap organisasi tersebut," tulis Tempo.

Tempo juga memprotes pujian yang disampaikan Suryadharma dan Salim kepada FPI. Saat itu, tulis TEmpo, Suryadharma memuji FPI karena di usianya yang baru 15 tahun, organisasi ini sudah terlihat kematangannya. Bahkan Suryadharma mengatakan bahwa nasionalisme FPI tidak perlu diragukan lagi. Ia menyebutkan FPI adalah organisasi Islam pencinta Pancasila, nasionalisme, dan negara Indonesia. FPI bukan musuh Pancasila.

Pidato Salim juga diprotes Tempo. Saat menyampaikan sambutan di Munas FPI, Salim memuji FPI, semakin hari semakin bagus, semakin meningkat, dan semakin diterima masyarakat.

Menurut Tempo, pernyataan Salim ini berbeda dengan kenyataan yang ada. Sebab, klaim Tempo, banyak kalangan meminta agar FPI dibubarkan karena tindak kekerasan mereka yang kian meluas.

Indonesia bukan Milik Liberal

Aneh memang sikap kaum liberal di negara ini. Seolah mereka hendak mengatakan umat Islam, aktivis Islam, dan organisasi Islam, tidak berhak atas negara ini. Ormas Islam tidak boleh turut mengelola negara ini. Tokoh Islam tidak boleh dekat dengan pejabat tinggi negara ini.

Barangkali, menurut mereka, yang sah mengelola negara ini hanya mereka. Yang boleh mengelola negara ini hanya mereka dan yang boleh dekat dengan pejabat tinggi negara hanya kelompok mereka.

Kaum liberal rupanya tidak sadar. Negara ini ada, Republik Indonesia ini berdiri adalah atas jasa perjuangan kaum mujahidin, para ulama, umat Islam, yang berteriak "Allahu Akbar" saat mereka berjuang melawan penjajah. Bahkan di Surabaya, Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan resolusi jihad untuk melawan penjajah. Bung Tomo juga meneriakkan takbir, "Allahu Akbar", untuk membakar semangat para pejuang. Dan mereka seperti lupa, bahwa kemerdekaan RI adalah "atas berkat rahmat Allah", bukan atas jasa kaum liberal.

Karena itu, FPI sebagai bagian dari umat Islam di Indonesia, yang mencintai Indonesia sebagai tanah air dan negara mereka, juga berhak untuk mengelola negara ini. Mereka juga tidak dilarang untuk dekat dengan pejabat tinggi negara.

Aksi-aksi yang dilakukan FPI dalam wujud amar makruf nahi munkar, adalah upaya untuk menjadikan negara ini sebagai "baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur". Sebuah negara yang diridhai Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa. Negara yang bebas dari pelacuran, korupsi, minuman keras dan berbagai kemaksiatan lainnya.

Istilah "kekerasan" sejatinya hanyalah frasa yang dihasilkan kaum liberal untuk memojokkan FPI. Isu kekerasan selalu diangkat supaya organisasi ini bubar dan lenyap dari bumi Indonesia. Sebab jika FPI lenyap, kaum liberal dan para ahli kemaksiatan akan bersuka ria karena aktivitas kemaksiatan yang mereka produksi tidak akan ada yang menghambat. Bagi mereka, FPI adalah musuh yang menghalangi segala upaya mereka untuk menghancurkan negeri ini dengan berbagai hal yang destruktif.

Adil terhadap FPI

Jujur harus diakui, selama ini media massa mainstream memang tidak berpihak terhadap FPI. Mereka selalu menonjolkan aktivitas-aktivitas FPI yang mereka anggap sebagai "kekerasan". Media mainstream tidak pernah memberitakan aktivitas dakwah dan sosial FPI yang juga sangat menonjol dalam organisasi ini.

"Mana berita FPI lakukan evakuasi 100 ribu mayat di Aceh? Hampir tidak ada teve nasional yang beritakan itu. Mana (berita) ketika FPI turun di Yogyakarta? Waktu gempa Merapi, gempa Padang, gempa Jabar, Situ Gintung?" kata Imam Besar FPI Habib Rizieq Syihab dalam pidatonya saat Peringatan Milad ke-15 di Petamburan, Ahad 25 Agustus 2013 lalu.

Sisi lain dari FPI inilah  yang selama ini belum diketahui banyak kalangan. Seorang jurnalis senior, Nurbowo, membeberkan sisi sosial organisasi yang bervisi penegakan amar makruf nahi munkar untuk penerapan Syari´at Islam secara kaffah ini.

“Di Banda Aceh, FPI membuka Posko di tempat yang sama sekali pihak lain tidak berminat menempatinya, Taman Makam Pahlawan (TMP)”, kata Nurbowo.

Dari posko di TMP itulah Habib Rizieq Syihab terjun langsung mengomandoi anak buahnya untuk mengevakuasi dan menguburkan mayat korban bencana alam secara Islami. “Harta benda yang masih tersisa pada mayat seperti dompet beserta isinya, perhiasan, dan lain-lain, dikumpulkan, lalu diserahkan FPI kepada ahli warisnya atau kepada aparat setempat”, lanjutnya.

Bukan hanya di Aceh, aksi sosial FPI juga dilakukan di daerah bencana lainnya. Saat Yogyakarta diguncang gempa 27 Mei 2006, FPI bahu membahu bersama ormas lainnya membantu warga Yogyakarta. Pun ketika bendungan Situ Gintung Ciputat jebol pada 27 Maret 2009 lalu, relawan FPI juga ikut berjibaku dengan lumpur.

Akhir September 2009, relawan FPI terjun ke Penjaringan, Jakarta Utara untuk membantu ribuan masyarakat yang menjadi korban kebakaran hebat di wilayah itu. Secara bersamaan, FPI juga menurunkan relawan ke Padang, Sumatera Barat yang terkena gempa 7,9 skala richter. “Saat gempa mengguncang Sumbar akhir September 2009, saya mendapati relawan FPI tekun membersihkan reruntuhan sebuah surau di kawasan Padang Pariaman”, kenang Nurbowo.

Ya, FPI memang selalu ada di setiap lokasi bencana alam. Tanpa pamrih, FPI selalu bekerja membantu korban yang terkena musibah. Di mana ada bencana, di situ ada Posko FPI. Markas FPI di Kawasan Petamburan, Jakarta Pusat kerap kali dijadikan sebagai tempat dapur umum, pengobatan dan pengungsian korban ketika wilayah itu terkena banjir.

Saat Jakarta digenangi banjir beberapa waktu lalu, FPI membuka 21 titik posko untuk membantu para korban banjir. Mereka menerima dan menyalurkan bantuan, serta membantu warga membersihkan rumah tempat tinggal mereka.

Saat mudik lebaran tahun ini, FPI tak ketinggalan membuka posko mudik di beberapa titik. Tetapi, adakah media mainstream yang meliput ini semua?.