Front Pembela Islam (FPI) Jambi mempertanyakan jenis sanksi yang ada di dalam Ranperda Pemberantasan Pelacuran dan Tindakan Asusila Kota Jambi. Taufiq Baragbah, Ketua DPD FPI Jambi yang hadir pada publik hearing perda tersebut kemarin (9/12) menilai, sanksi yang disebutkan dalam ranperda tidak memiliki efek jera.

"Kami rasa denda maksimum Rp 25 juta itu tidak memberikan efek jera. Nanti nya akan ada negosiasi lagi," katanya.

Selain itu, pihak nya menginginkan ada juga peran adat dalam penegakkan Perda. Semua pihak
harus terlibat, dan tidak boleh ada deking. Ditanya mengenai kemungkinan FPI sweeping, dirinya mengatakan jika dibutuhkan FPI akan ikut memantau dan mengawal. "Karena dalam Perda itu ada dituliskan peran serta masyarakat," katanya.

FPI akan ikut serta mengawal, berdasarkan laporan masyarakat. Dirinya membantah jika disebutkan
FPI mencari-cari masalah dan kesalahan orang lain. Dan dengan adanya perda ini, pihaknya mendukung sekali.

"Kami jelas mendukung. Dan dalam istilahnya tidak ada kata sweeping. Karena kami bekerja atas dasar
Undang-undang," ujarnya.

Sementara itu, Said Abdullah Kasim, anggota Pansus Perda Pemberantasan Pelacuran dan Tindakan Asusila di
sela-sela public hearing kemarin mengatakan, banyak masukan positif yang diterima. Begitu pula dengan kritikan yang bisa membantu membuat Perda ini lebih baik.

"Kita lihat lagi, kita rangkum lagi. Masukan-masukan dan kritikan itu akan kita masukan dan tambahkan ke
Ranperda," katanya.

Sementara itu, terkait dengan sanksi yang disampaikan oleh FPI, disebutkan Said itu adalah sanksi berdasarkan Perda. "Menurut Undang-Undang, sanksi dalam perda itu tidak lebih dari kurungan enam bulan, dan denda tak boleh lebih dari Rp 50 juta," katanya. Dia mengatakan, tidak boleh sanksi melebihi amanat Undang-Undang itu.

Said sendiri mengatakan, public hearing adalah tahapan terakhir dalam perumusan Ranperda ini. Setalah adanya public hearing, maka masukan-masukan yang diberikan akan dirangkum kemudian menjadi perda. "Dalam waktu dekat kita sahkan," katanya.